Saat itu pertengahan 1989 adalah liburan semesteran kuliahku di fakultas ekonomi sebuah universitas bergengsi di Bandung. Dengan IPK diatas 3 yang berhasil kucapai, aku merasa ingin memanjakan tubuhku di liburan kali ini. Aku ingin mencari suasana baru dan melupakan aktifitas kampus yang melelahkan, setelah berkonsultasi dengan kedua orang tuaku yang tinggal di Jakarta, aku pun memutuskan untuk pergi ke Garut dan menghabiskan liburanku di rumah Mang Iyus dan Bi Laha. ‘Mamang’ dan ‘Bibi’ adalah terminologi Sunda yang berarti ‘Oom’ dan ‘Tante’.
Mang Iyus masih bisa dibilang sepupu ayahku karena ibu Mang Iyus dan
kakekku adalah kakak beradik lain ibu. Mang Iyus adalah seorang tuan
tanah dan pengusaha dodol yang cukup sukses di Garut. Sawahnya
berhektar-hektar dan menghasilkan beras kualitas nomor satu sampai
beratus-ratus ton di masa panen. Performance pabrik dodolnya pun tak
kalah mengecewakan. Paling tidak supermarket-supermarket besar di
kota-kota utama Jawa Barat pasti menjual produknya. Usia Mang Iyus sudah
mencapai 45 tahun dan isterinya 10 tahun lebih muda darinya. Aku cuma
tertawa ketika ayahku mengingatkanku untuk tidak tergoda pada isteri
sepupunya itu. “Pamanmu itu seleranya tinggi.. si Laha itu dulu
kembangnya Cilimus.. bapak yakin isteri muda si Iyus nggak kalah
cantiknya..”
Cilimus adalah desa dekat Garut dimana keluarga pamanku itu tinggal.
Desa yang konon memiliki tingkat kelahiran bayi cukup tinggi. Suatu
statistik yang sangat bisa dimengerti setelah melihat kemolekan
wanita-wanitanya. Aku memang jarang bertemu dengan paman yang satu ini
sehingga tak pernah berjumpa dengan isterinya. Pasangan itu sampai saat
ini belum dikaruniai anak. Kata ayahku, karena masalah itulah setahun
yang lalu Mang Iyus kawin lagi dengan gadis berusia 19 tahun dengan
harapan bisa memperoleh anak, yang ternyata belum juga sukses. Bi Laha
tampaknya pasrah saja dimadu.
Aku memasukkan Honda Accord-ku ke halaman rumah Mang Iyus yang.. my
god.. luas sekali. Kalau dikira-kira luas tanahnya saja.. aku yakin
lebih dari 5000 meter. Dan rumahnya bermodelkan hasienda Spanyol yang
kala itu sedang trendy di Indonesia sehingga terlihat pincang dengan
suasana yang sejuk dan sederhana di desa Cilimus Garut itu. Seorang
lelaki setengah baya dan bersarung dengan postur badan cukup tegap dan
tinggi, hampir sama denganku yang 176 cm itu, bangkit dari kursi panjang
di teras menyambutku. Setumpuk kertas di meja samping tampak
menemaninya sedari tadi.
“Mang.. kumaha, damang?*” kataku seraya mencium tangannya (*kumaha = bagaimana, damang = baik).
“Oh.. pangesto.. pangesto..** gimana kabarnya bapak dengan ibu?” Mang Iyus terlihat begitu gembira melihat kedatanganku. (**pangesto = baik-baik saja).
“Baik.. baik, bapak dan ibu titip salam.. dan ini ada sedikit oleh-oleh dari Bandung..” Jawabku seraya menyerahkan sekantong besar keripik Karya Umbi.
“Aduuh.. mani repot.. nuhun atuh… Buuu!! Ini Cep Rafi datang..” Serunya sambil mengantarkan aku masuk ke rumahnya. ‘Cep’ adalah juga terminologi Sunda yang berarti si tampan. Seorang wanita berpakaian kebaya tampak tergopoh-gopoh keluar untuk menyambutku. Ia berhenti di hadapanku dan terpana memandang wajah dan tubuhku. “Ya ampuuun.. Rafi.. kamu sudah jadi pemuda sekarang…” Bi Laha mengulurkan tangannya menerima cium tanganku.
“Apa kabar Bi Laha..? Bibi memang cantik seperti kata bapak…”
“aahh kamu bisa saja… anak dan bapak sama saja.. tukang ngerayu.. ayo masuk.. bibi sudah siapkan kamarnya.. Tiii.. Titi… tolong bawa barang-barang Cep Rafi ke kamarnya…” Bi Laha menggandeng tanganku dan membimbingku ke dalam rumah. Ayahku memang benar. Fisik perempuan ini bukan cuma cantik, tapi juga montok menggairahkan. Coba bayangkan, tingginya sekitar 165 cm kulitnya putih mulus dan wajah serta postur tubuhnya mirip dengan Rina Gunawan (itu lho, penyiar AMKM di TPI yang juga berperan sebagai teman bisnisnya Sarah di Si Doel Anak Sekolahan 4). Cuma bedanya, wajah perempuan ini terlihat jauh lebih matang, hidungnya sedikit lebih mancung dan di atas bibirnya terdapat sedikit kumis tipis. Hmm kata orang, perempuan yang berkumis mempunyai nafsu yang…
“Mang.. kumaha, damang?*” kataku seraya mencium tangannya (*kumaha = bagaimana, damang = baik).
“Oh.. pangesto.. pangesto..** gimana kabarnya bapak dengan ibu?” Mang Iyus terlihat begitu gembira melihat kedatanganku. (**pangesto = baik-baik saja).
“Baik.. baik, bapak dan ibu titip salam.. dan ini ada sedikit oleh-oleh dari Bandung..” Jawabku seraya menyerahkan sekantong besar keripik Karya Umbi.
“Aduuh.. mani repot.. nuhun atuh… Buuu!! Ini Cep Rafi datang..” Serunya sambil mengantarkan aku masuk ke rumahnya. ‘Cep’ adalah juga terminologi Sunda yang berarti si tampan. Seorang wanita berpakaian kebaya tampak tergopoh-gopoh keluar untuk menyambutku. Ia berhenti di hadapanku dan terpana memandang wajah dan tubuhku. “Ya ampuuun.. Rafi.. kamu sudah jadi pemuda sekarang…” Bi Laha mengulurkan tangannya menerima cium tanganku.
“Apa kabar Bi Laha..? Bibi memang cantik seperti kata bapak…”
“aahh kamu bisa saja… anak dan bapak sama saja.. tukang ngerayu.. ayo masuk.. bibi sudah siapkan kamarnya.. Tiii.. Titi… tolong bawa barang-barang Cep Rafi ke kamarnya…” Bi Laha menggandeng tanganku dan membimbingku ke dalam rumah. Ayahku memang benar. Fisik perempuan ini bukan cuma cantik, tapi juga montok menggairahkan. Coba bayangkan, tingginya sekitar 165 cm kulitnya putih mulus dan wajah serta postur tubuhnya mirip dengan Rina Gunawan (itu lho, penyiar AMKM di TPI yang juga berperan sebagai teman bisnisnya Sarah di Si Doel Anak Sekolahan 4). Cuma bedanya, wajah perempuan ini terlihat jauh lebih matang, hidungnya sedikit lebih mancung dan di atas bibirnya terdapat sedikit kumis tipis. Hmm kata orang, perempuan yang berkumis mempunyai nafsu yang…
Buah dadanya yang montok dan besar itu terlihat menggunduk di balik baju
kebayanya yang berdada rendah. Kekagumanku memaksa otakku untuk
mengukur besaran vitalnya.. paling sedikit 34, tak mungkin kurang dari
itu. Kelak aku tahu perhitunganku tak meleset. Ukurannya 36.
“Waahh.. Mang Iyus sekarang lagi sering ke pabrik.. jadi jarang di
rumah”, kata perempuan itu sambil terus menggandeng tangan kananku
menuju kamar. Lalu mulailah bibir indah itu berceloteh tentang betapa
kangennya ia dengan keluargaku. Juga tentang rencana-rencananya
mengunjungi ayah-ibuku yang selalu gagal karena kesibukan suaminya. Aku
mendengar dengan antusias. Seantusias mataku yang mencuri-curi pandang
ke belahan buah dadanya. Tanpa sengaja sikuku menyenggol sisi kiri bukit
kembar itu, keempukannya membuat ada desiran aneh mengalir dari dada
menuju selangkanganku. Tak tahan untuk tidak mencuri kesempatan,
kuangkat sikuku lebih tinggi sehingga mulai bergesekan dengan ujung kiri
buah dadanya, daging bulat yang kenyal dan empuk itu sedikit-sedikit
menampar sikuku membuat penisku mulai berdenyut-denyut dan
perlahan-lahan bangun dari tidurnya. Buah dada besar itu berayun naik
turun sesuai langkahnya yang ditingkahi derai bicaranya. Pelan-pelan aku
menggerakkan sikuku lagi, mencari peruntungan siapa tahu bisa merasakan
putingnya. Bi Laha merasakan gerakan sikuku yang kurang wajar itu lalu
berhenti berbicara dan tersenyum. Tangan kanannya mendorong sikuku
menjauh dari buah dadanya yang bundar seperti buah melon itu seraya
mencubitnya. “Mmh.. geli dong Fi.. sengaja ya..” Bisiknya seraya
mendelik galak. My god.. bisikannya.. Aku agak melambatkan langkahku
karena tonkolan daging di selangkanganku semakin keras dan mengganggu
jalanku. Otakku yang biasa berkutat dengan teori-teori ekonomi mendadak
penuh dengan rencana-rencana untuk menaklukkan isteri pamanku ini. Semua
sel-sel di dalam tempurung kepalaku terfokus pada satu titik : ‘aku
harus menaklukkan isteri pamanku itu, sampai titik dimana ia akan
mengemis untuk merasakan penisku menari-nari dalam vaginanya!’
(“Pemuda yang tampan”, Laha tersenyum meninggalkan kamar keponakan
suaminya itu. “Tampan dan nakal”. Lalu tanpa sadar perempuan itu meraba
ujung buah dada kirinya. Masih terasa sisa-sisa kegelian akibat gesekan
siku kekar pemuda itu. Kegelian itu kini tiba-tiba membuat darahnya
berdesir. Kegelian yang sudah lama tak dirasakannya, yang akhir-akhir
ini cuma mampir lewat mimpi. Perempuan itu melirik Iyus, lelaki kaya
yang mengawininya hampir 15 tahun lampau. Tampak suaminya itu kembali
tenggelam dalam kesibukan meneliti catatan pengeluaran dan pemasukan
perusahaannya. Laha menghela nafas, tiba-tiba saja ia begitu menyesal
tak membiarkan siku pemuda itu sedikit lebih lama menggesek-gesek buah
dadanya.)
Pembaca, kata-kata dalam kurung di atas adalah perasaan-perasaan Bi Laha
(bukan kata-kata) yang diceritakannya kelak setelah kami berdua menjadi
‘akrab’. Dan anda akan menemukan kurung lainnya yang menunjukkan
perasaan tokoh lain. Sengaja kubuat komposisi seperti ini untuk membuat
cerita ini lebih mengalir.
3 hari pertama, aku melakukan sosialisasi dengan keluarga Mang Iyus.
Terutama, tentunya, dengan Bi Laha. Perempuan yang bernama lengkap
Nugraha itu ternyata seorang yang cerdas dan senang membaca. Walau hanya
lulusan SMA, ia banyak menguasai masalah-masalah aktual masa kini. Dari
masalah ekonomi, politik, sampai ke soal fashion. Benar-benar teman
bicara yang mengasyikkan. Akhir-akhir ini Mang Iyus tampak lebih sibuk
dengan pabrik dodolnya dan, sudah tentu, istri barunya. Sehingga praktis
ia baru ada di rumah sesudah jam 8 malam setiap harinya. Itupun karena
aku ada disini. Biasanya, hari Kamis sampai Minggu lelaki itu menginap
di rumah Nuke, istri mudanya. Bisa kubayangkan betapa kesepiannya Bi
Laha. Apalagi, belakangan kutahu bahwa sudah 6 bulan lebih Mang Iyus
mengalami masalah dengan ‘senjatanya’ karena pernah terkena tendangan
bola yang keras sekali sehingga harus dirawat seminggu dua kali oleh
seorang dukun urut.
Malam itu, seperti biasa kami ngobrol berdua menunggu Mang Iyus pulang.
Badan kami terasa sangat segar selepas mandi setelah sesorean bersimbah
keringat membersihkan rumah yang baru saja ditinggal pulang Titi,
pembantu setia keluarga itu, selama seminggu. Saat itu Bi Laha
mengenakan kebaya hijau muda dikombinasikan dengan kain jarik hijau tua.
Mang Iyus memang menyuruh isteri-isterinya mengenakan kebaya setiap
hari. “Lebih indah..” katanya suatu hari. “Lebih merangsang..” Jawabku
dalam hati. Rambut perempuan yang belum lagi kering itu diikat buntut
kuda, memperlihatkan leher jenjangnya yang indah dan putih mulus. Bi
Laha tidak mengenakan penutup dada sehingga buah dadanya menyembul
keluar dan dari belahannya kentara sekali kekenyalannya. Ingin rasanya
memasukkan tanganku diantara belahan dada itu dan meremas
sekuat-kuatnya. Kami duduk berhadapan di meja makan kayu berukir
berukuran besar.
“Bi Laha.. umurnya sudah lebih dari 30 kok badannya masih…” Sengaja aku
mengalihkan topik pembicaraan ke topik yang agak ‘syuur’. Siapa tahu
bisa jadi entry point untuk menggumuli tubuh isteri pamanku itu. “Masih
apa Fi…” Deliknya sambil tersenyum.”Masih kenceng.. masih.. seksi..”
jawabku seraya memandang wajah Bi Laha yang mendadak bersemu merah.
(“O Tuhan, sudah lama aku mendambakan puji-pujian seperti ini dari
seorang lelaki”, demikian jerit hati perempuan itu. Ketika masih
perawan, tak ada lelaki yang luput melontarkan pujian padanya. Tak ada
yang tak mengagumi kembang desa Cilimus yang namanya sempat jadi buah
bibir para pria kota Garut kala menjuarai festival ‘Mojang Garut’.
Setiap pujian, selalu mengalirkan gairah pada seluruh pembuluh darahnya.
Dan gairah itulah yang senantiasa membuat esok menjadi lebih indah dari
kemarin. Dan sekarang, setelah bertahun-tahun padam, tiba-tiba seorang
pemuda mengucapkan dua patah kata yang mengobarkan kembali gairah itu.
Hanya saja di luar kebiasaan, kali ini gairah itu memacu jantung
perempuan di usia 30-an itu berlari lebih cepat.)
Buah dada Bi Laha naik turun mengiringi degup jantungnya yang semakin
cepat “Untung benar Mang Iyus bisa menikmati tubuh bibi yang montok ini.
Kalau saya jadi Mang Iyus, bibi akan saya tiduri setiap hari..”
Kata-kata itu begitu saja mengalir tak terbendung. Aku sendiri terkejut
mendengar pernyataan yang terkesan ‘vulgar’ itu. Konyolnya, gara-gara
membayangkan kata-kata itu tanpa sadar penisku bangkit dan mengeras.
Nampak Bi Laha juga sedikit terkejut mendengar kata-kataku. Gila,
mungkin begitu pikirnya, beraninya seorang keponakan berkata-kata jorok
kepada bibinya, untung dia tak marah malahan terenyum menggoda, “Tiap
hari Fi..? Kuat emangnya..?” Uff, jawabannya membuat penisku terasa
sakit karena tertekuk di dalam celana dalamku.”Hmm.. jadi bibi mau
coba..?” Aku tersenyum menantang seraya berdiri dan berpura-pura akan
menurunkan ritsluiting celana katunku sambil mengambil kesempatan untuk
membetulkan posisi penisku, hahh.. lega, “iiihh… Rafi jorok ah… nanti
ketauan Mang Iyus…” Pekiknya sambil menutup mata dengan kedua tangannya.
Namun mata perempuan itu tampak diam-diam mengintip melalui jemarinya
yang lentik. Wajahnya tercengang melihat bagian depan celanaku yang
lebih menggelembung dari biasanya. Karena bahan katun yang lemas,
penisku tercetak dengan jelas sedang berdiri tegak. Aku melirik ekspresi
istri pamanku itu. Kentara sekali wajah bibiku itu bertanya-tanya.
(“Gila anak ini!” Maki Laha dalam hati. “Dia mau membuka ritsluitingnya
di hadapanku! Aduh, lalu aku harus gimana? Brengsek, serius ngga sih
dia? Tapi, tapi, kalau diliat-liat.. ya ampun, anunya membesar.. jelas
benar tercetak di celananya. Kalau begitu dia tidak main-main!! Ya
Tuhan, apa dia mau memperkosaku? Ka.. kalau iya, apakah aku mampu
menampung anunya yang besar itu? Hmm, tapi kata orang kalau perempuan
dimasuki anu yang besar rasanya seperti… ” Laha tersenyum sendiri
sebelum dengan perasaan malu menghentikan pikirannya yang berhamburan
tak terkendali itu. Namun terlambat, desiran kegelian dan kegatalan itu
telanjur mengalir ke bawah perutnya)
“Nggak bakal ketauan Bi.. Mang Iyus kan lagi di pabrik..”
“Iiihh.. ngga mau ah.. bibi takuut..” Kata Bi Laha sambil bersiap bangkit dari kursi.
“Lo.. lo.. mau kemana Bi..? Duduk saja.. saya cuma becanda kok..”
“Uuuhh.. dasar… kirain beneran..”
“Kalau beneran, gimana? Bibi mau..?” Sejenak Bi Laha memandang bongkahan besar di selangkanganku, kemudian mendelik galak kearahku, lalu membuang muka.
“Tauk ah..”
“Loo.. kok malah ngambek.. ayo dong Bi.. saya kan cuma becanda..” Perempuan itu masih juga tak mau melihat mukaku.
“Iya deh.. Bi.. sorry… jangan ngambek terus doongg.. entar punya saya tambah gede lo..”
“Iiih.. Rafi.. kamu tuh ngomongnya ngaco deh.. Lagian apa hubungannya ngambek sama.. sama.. punya kamu..”
“Ada dong Bi.. kalau bibi ngambek, mukanya tambah merangsang.. hehe..”
Isteri pamanku itu pun tersenyum geli, lalu melemparkan serbet ke mukaku.. “Dasar ngeres.”
(“Pemuda ini sungguh menggemaskan!” Laha tersenyum dalam hati. Ia mulai menyukai keponakan suaminya itu. Mukanya lumayan cakep, cerdas, orangnya baik, dadanya bidang. Tapi jailnya itu lho.. agak-agak menjurus. “Anak ini benar-benar tak tahu keadaan! Sadarkah dia kalau kejahilannya itu membuat aku.. aku.. terangsang? Apalagi.. apalagi.. melihat anunya yang… iiih… besarnya.” Laha mendesah membayangkan benda itu memasuki dirinya. Diam-diam, ia agak kecewa keponakannya tak sungguh-sungguh menurunkan ritsluitingnya.)
“Iiihh.. ngga mau ah.. bibi takuut..” Kata Bi Laha sambil bersiap bangkit dari kursi.
“Lo.. lo.. mau kemana Bi..? Duduk saja.. saya cuma becanda kok..”
“Uuuhh.. dasar… kirain beneran..”
“Kalau beneran, gimana? Bibi mau..?” Sejenak Bi Laha memandang bongkahan besar di selangkanganku, kemudian mendelik galak kearahku, lalu membuang muka.
“Tauk ah..”
“Loo.. kok malah ngambek.. ayo dong Bi.. saya kan cuma becanda..” Perempuan itu masih juga tak mau melihat mukaku.
“Iya deh.. Bi.. sorry… jangan ngambek terus doongg.. entar punya saya tambah gede lo..”
“Iiih.. Rafi.. kamu tuh ngomongnya ngaco deh.. Lagian apa hubungannya ngambek sama.. sama.. punya kamu..”
“Ada dong Bi.. kalau bibi ngambek, mukanya tambah merangsang.. hehe..”
Isteri pamanku itu pun tersenyum geli, lalu melemparkan serbet ke mukaku.. “Dasar ngeres.”
(“Pemuda ini sungguh menggemaskan!” Laha tersenyum dalam hati. Ia mulai menyukai keponakan suaminya itu. Mukanya lumayan cakep, cerdas, orangnya baik, dadanya bidang. Tapi jailnya itu lho.. agak-agak menjurus. “Anak ini benar-benar tak tahu keadaan! Sadarkah dia kalau kejahilannya itu membuat aku.. aku.. terangsang? Apalagi.. apalagi.. melihat anunya yang… iiih… besarnya.” Laha mendesah membayangkan benda itu memasuki dirinya. Diam-diam, ia agak kecewa keponakannya tak sungguh-sungguh menurunkan ritsluitingnya.)
“Hehe.. Kebetulan Bi.. berhubung kita sudah kepalang ngeres.. kita cerita-cerita pengalaman ngeres yuk?”
“Yang ngeres kan kamu Fi bukan bibi…” Katanya memprotes.
“Iya deehh.. saya yang ngeres.. tapi mata bibi tadi juga ngeres.. buktinya tadi bibi ngeliatin terus ‘punya’ saya.”
“Itu bukan ngeres tauk! Itu kaget! Habisnya…” Seperti sadar karena kelepasan omong, Bi Laha tak melanjutkan kata-katanya. Ia menutup mata dengan tangannya sembari menggigit bibirnya yang tak kuasa menyunggingkan senyum.
“Abisnya apa Bi..? Abisnya besar ya…” Aku melanjutkan kata-katanya sambil menyeringai.. Muka Bi Laha memerah, sambil lagi-lagi membuang muka, ia mengangguk.
“Naah.. makanya.., biar asyik.. gimana kalau kita cerita tentang bagaimana si ‘besar’ saya itu bisa membuat perempuan tergila-gila…” Bi Laha tersenyum dan kembali memandangku.
“Kamu memang gila.. tapi… boleh juga tuh.. walaupun kedengarannya agak serem, asal jangan nakut-nakutin bibi kayak tadi lagi ah..”
“Nggaa.. janji deh bi.. anggap saja sekarang kita lagi belajar anatomi tubuh, kalaupun saya menunjukkan bagian tubuh saya pada bibi, itu cuma demi pengetahuan kok.. suer..” Kataku seenaknya untuk menenangkan hatinya. Lalu perempuan itu meletakkan dagu di atas tangannya yang bertelekan di atas meja, menungguku bercerita. Akibatnya, buah dadanya tampak semakin menggelembung terganjal meja. Saat itu aku menyesal kenapa tidak diciptakan sebagai meja.
“Bi.. saya sudah kenal perempuan sejak SMA lho.. entah kenapa.. nafsu saya besar sekali.. sejak kali pertama itu, hampir tiap hari saya minta ‘begituan’ sama dia.. sampai-sampai dia sendiri kewalahan.”
“Dia itu teman SMA kamu Fi..?”
“Heheh.. rahasia.. pokoknya perempuan.. cantik, montok, dan seksi..”
“Sampai sekarang, kamu juga minta ‘gituan’ tiap hari Fi..?”, “Ngga.. sekarang agak berkurang.. paling banyak tiga kali seminggu..”
“Kalau ngga ada perempuannya?” Bi Laha mulai penasaran.
“Ya swalayan dong bi… seperti sekarang, karena saya lagi ngga punya teman tidur, yaa terpaksa, kecuali kalau bibi…”
“Aa.. tuh kaan.. mulai lagii..” Nada bicara Bi Laha terdengar merajuk.
“Heheh.. bercanda… Nah.. selera saya selalu pada perempuan yang liar.. yang ngga malu untuk teriak-teriak.. yang kalau cium bibir lelaki seperti orang kehausan mencari air.. yang kalau saya tindih badannya menggeliat-geliat sehingga payudaranya yang tergencet menggesek-gesek dada saya.” Bi Laha nampak tercengang mendengar kata-kataku mengalir begitu saja tanpa rasa risih.
“Yang ngeres kan kamu Fi bukan bibi…” Katanya memprotes.
“Iya deehh.. saya yang ngeres.. tapi mata bibi tadi juga ngeres.. buktinya tadi bibi ngeliatin terus ‘punya’ saya.”
“Itu bukan ngeres tauk! Itu kaget! Habisnya…” Seperti sadar karena kelepasan omong, Bi Laha tak melanjutkan kata-katanya. Ia menutup mata dengan tangannya sembari menggigit bibirnya yang tak kuasa menyunggingkan senyum.
“Abisnya apa Bi..? Abisnya besar ya…” Aku melanjutkan kata-katanya sambil menyeringai.. Muka Bi Laha memerah, sambil lagi-lagi membuang muka, ia mengangguk.
“Naah.. makanya.., biar asyik.. gimana kalau kita cerita tentang bagaimana si ‘besar’ saya itu bisa membuat perempuan tergila-gila…” Bi Laha tersenyum dan kembali memandangku.
“Kamu memang gila.. tapi… boleh juga tuh.. walaupun kedengarannya agak serem, asal jangan nakut-nakutin bibi kayak tadi lagi ah..”
“Nggaa.. janji deh bi.. anggap saja sekarang kita lagi belajar anatomi tubuh, kalaupun saya menunjukkan bagian tubuh saya pada bibi, itu cuma demi pengetahuan kok.. suer..” Kataku seenaknya untuk menenangkan hatinya. Lalu perempuan itu meletakkan dagu di atas tangannya yang bertelekan di atas meja, menungguku bercerita. Akibatnya, buah dadanya tampak semakin menggelembung terganjal meja. Saat itu aku menyesal kenapa tidak diciptakan sebagai meja.
“Bi.. saya sudah kenal perempuan sejak SMA lho.. entah kenapa.. nafsu saya besar sekali.. sejak kali pertama itu, hampir tiap hari saya minta ‘begituan’ sama dia.. sampai-sampai dia sendiri kewalahan.”
“Dia itu teman SMA kamu Fi..?”
“Heheh.. rahasia.. pokoknya perempuan.. cantik, montok, dan seksi..”
“Sampai sekarang, kamu juga minta ‘gituan’ tiap hari Fi..?”, “Ngga.. sekarang agak berkurang.. paling banyak tiga kali seminggu..”
“Kalau ngga ada perempuannya?” Bi Laha mulai penasaran.
“Ya swalayan dong bi… seperti sekarang, karena saya lagi ngga punya teman tidur, yaa terpaksa, kecuali kalau bibi…”
“Aa.. tuh kaan.. mulai lagii..” Nada bicara Bi Laha terdengar merajuk.
“Heheh.. bercanda… Nah.. selera saya selalu pada perempuan yang liar.. yang ngga malu untuk teriak-teriak.. yang kalau cium bibir lelaki seperti orang kehausan mencari air.. yang kalau saya tindih badannya menggeliat-geliat sehingga payudaranya yang tergencet menggesek-gesek dada saya.” Bi Laha nampak tercengang mendengar kata-kataku mengalir begitu saja tanpa rasa risih.
(“Edan! Belum pernah terlintas sedikitpun dalam benakku untuk
mendengarkan cerita seks dari seorang lelaki bukan suamiku. Celakanya,
kini aku mendengarkan cerita-cerita itu dari mulut keponakanku
sendiri.”)
“Heheh.. santai saja bi.. saya ngga ngerasa risih ngomong beginian sama
bibi, habis bibi nikmat diajak ngobrol, jadi yaa alami saja lah..”
Perempuan itu agak tersipu karena ‘terbaca’ olehku.
“Sampai dimana tadi..? O ya.. perempuan liar.. tapi jangan salah bi.. saya selalu memulai dengan lembut.. penuh rasa sayang… biasanya saya mulai cium pipinya.. terus hidungnya.. lalu mampir ke kuping.. saya paling suka menggigit daun telinga dan menjilati lubangnya.. biasanya teman-teman perempuan saya sampai disitu sudah ngga tahan.. kalau liarnya keluar, macem-macem deh reaksinya.. ada yang minta payudaranya diremes keras-keras.. ada yang minta putingnya digigit dan disedot.. ada juga yang langsung ngisep penis saya.”
“Sampai dimana tadi..? O ya.. perempuan liar.. tapi jangan salah bi.. saya selalu memulai dengan lembut.. penuh rasa sayang… biasanya saya mulai cium pipinya.. terus hidungnya.. lalu mampir ke kuping.. saya paling suka menggigit daun telinga dan menjilati lubangnya.. biasanya teman-teman perempuan saya sampai disitu sudah ngga tahan.. kalau liarnya keluar, macem-macem deh reaksinya.. ada yang minta payudaranya diremes keras-keras.. ada yang minta putingnya digigit dan disedot.. ada juga yang langsung ngisep penis saya.”
(“Aku benar-benar tak percaya pada apa yang kudengar. Anak muda yang
belum genap 23 tahun ini menyebut kata ‘penis’ dengan santainya di depan
bibinya yang berumur 35! Tunggu. Apa katanya? Seorang perempuan pernah
menghisap anunya? Gila. Perempuan macam apa itu? Seperti apa bentuk
mulutnya? Hmm, apakah anu sebesar itu muat di dalam mulutku?” Laha
mengeluh karena pertanyaan-pertanyaan itu pada akhirnya merangsang
dirinya sendiri. Desiran rasa geli dan gatal itu semakin deras terasa di
selangkangannya.)
Nafas Bi Laha mulai memburu. Berkali-kali tampak ia menelan ludah. “Ko..
penis kamu pernah diisep perempuan Fi..?” Ia menyebut kata ‘penis’
dengan sedikit risih karena tidak biasa. Suaranya terdengar serak. Aku
mengangguk. “Rasanya kayak apa ya Fi..?” “Bibi belum pernah ngisep
burung..?” Bi Laha kembali tersipu. Ia agak jengah dengan pertanyaanku
yang tembak langsung itu. Walaupun sedikit kikuk, ia mencoba
menjawabnya. “Ehm.. gimana ya bilangnya Fi.. soalnya Mang Iyus biasanya
langsung tancep sih.. terus… dianya molor.. jadi ya ngga ada variasi..”
“Jadi belum pernah dong?” Kejarku, dan perempuan itu menggeleng.
(“Sialan!! anak ini pasti menertawakanku”, Laha menggerutu dalam hati.
Ia teringat pesan kakak perempuannya untuk tidak menghisap dan menjilat
anu suaminya kalau tidak diminta. Nanti kamu dikira murahan, begitu
alasannya. Dan suaminya memang tak pernah meminta. Dan perempuan itu
memang tak akan menunggu diminta kalau anu suaminya berukuran sebesar
keponakannya. Dan kata ‘penis’ dirasanya lebih kasar dibanding ‘anu’.)
“Heheh kasihan bibiku sayang.. tapi jangan kawatir.. nanti saya ajarin
deh cara-caranya.. tapi prakteknya tunggu sampai Mang Iyus sembuh dulu
ya..?” Aku mencoba menghibur. Namun, Bi Laha hanya tersenyum masam
pertanda apatis. “Ada cara lain sih bi.. ya swalayan itu tadi..
masturbasi..”
“Tapi… tapi kan masturbasi akan terasa lebih nikmat kalau kamu sudah pernah ngerasain yang sebenarnya..”
“Betul sekali bi.. tapi saya ada solusi untuk itu.. ” Aku bangkit mengitari meja dan duduk di sampingnya. Kami berdua duduk di kursi tanpa sandaran. (“Rafi, mau kau apakan bibimu ini?”)
“Tapi… tapi kan masturbasi akan terasa lebih nikmat kalau kamu sudah pernah ngerasain yang sebenarnya..”
“Betul sekali bi.. tapi saya ada solusi untuk itu.. ” Aku bangkit mengitari meja dan duduk di sampingnya. Kami berdua duduk di kursi tanpa sandaran. (“Rafi, mau kau apakan bibimu ini?”)
“Saya ngga akan apa-apain bibi.. jangan takut..” kataku disambut senyum
manisnya. Amboii cantiknya. Tiba-tiba batinku seakan mengucapkan
janjinya bahwa di malam inilah aku akan menikmati tubuh sintal isteri
pamanku. “Pejamkan mata bibi.. saya akan mengelus muka dan tangan bibi..
lalu bibi harus berfantasi sesuai petunjuk saya.. Ok?” Tanpa minta
persetujuan aku berdiri di belakang Bi Laha dan dengan lembut menutup
matanya. “Atur nafas bibi..” Lalu aku meletakkan jari telunjuk dan
tengahku di pipi kanannya “Bayangkan jari saya ini bibir lelaki ya bi..”
(“oooh apa yang harus kulakukan.. apa yang harus kulakukan.. haruskah
aku mengikuti kata-katanya? Haruskah aku berfantasi? Pantaskah seorang
bibi berfantasi sexual bersama keponakannya sendiri? Atau sebaiknya aku
pergi dari sini? Keponakan sialan! Kamu sengaja, kamu tau bibimu lagi
butuh.. kamu tau bibimu seorang isteri kesepian..”)
Bi Laha tak bereaksi. Ia menurutiku menutup mata. Hanya saja terasa otot
tubuhnya menegang. Mungkin malu, tegang, dan gairah bercampur jadi
satu. Kedua jariku mulai menelusuri pipinya yang mulus dan kencang,
menelusuri sisi hidungnya yang indah, kemudian berhenti sebentar di
bibirnya yang seksi dan tampak basah. Pelan-pelan kucubit bibir
bawahnya, “mmhh..” Perempuan itu menghela nafas. “Bi.. bayangkan seorang
lelaki mencium lembut bibir bibi lalu sesekali ia menggigit bibir
bawahnya..” Sementara itu tangan kiriku mulai mempermainkan daun
telinganya. “sss…” Bi Laha mendesis dan menggeliat kegelian. Penisku
mendadak berdenyut. Aku benar-benar hampir tak dapat menahan nafsu
birahiku. Siapa yang bisa tahan melihat perempuan montok berkulit kuning
langsat dengan buah dada yang menggelembung keluar dari kebayanya
tengah mendesis-desis kegelian..! Niat untuk memperkosanyapun mulai
mendominasi sel-sel otakku. Terbayang betapa menggairahkannya menggumuli
tubuh sintal ini seraya memaksanya bersetubuh. Tapi suara hatiku
melarang. Perempuan ini isteri pamanmu! Perlakukan dia dengan
semestinya! Heheh.., ternyata di situasi seperti ini masih ada juga
peran suara hati. Jari tangan kananku sudah sampai ke dada Bi Laha,
tepat sebelum daging buah dadanya. Sejenak jari-jariku membelai-belai
tulangnya, sambil sedikit-sedikit mulai menyentuh gelembung buah dadanya
yang empuk itu.
(“Ooohh gilaa.. gillaa… apa yang kulakukan? Tangan anak muda ini seakan
menjelma menjadi bibir seorang lelaki yang tengah menciumi, menjilati,
dan menelusuri setiap lekuk liku tubuhku dan arahnya. Oh.. arahnya makin
mengarah ke buah dadaku. Oh, akankah dia.. akankah dia…” Lalu perempuan
itu merasakan aliran darahnya bergerak semakin cepat, semakin cepat.
Lalu ia menggeser pinggulnya. Dan tersadar, kalau celana dalam nilonnya
mulai basah di bagian selangkangan.)
Nafas Bi Laha semakin terdengar tidak beraturan, matanya masih terpejam,
alisnya mulai berkerut, bibirnya sedikit menganga, buah dadanya naik
turun, tangan kanannya pelan-pelan turun ke selangkangannya dan disambut
oleh jepitan kedua pahanya yang langsung bergerak menggesek satu sama
lain, my god! Perempuan ini sudah tidak sungkan-sungkan untuk
menggesek-gesekkan kewanitaannya ke tangannya sendiri di depanku. That’s
good! Tangan kiriku turun dari telinganya dan mulai meremas-remas
pundaknya yang sekal dengan hati-hatiku tempelkan penis yang sudah tegak
berdiri di balik celana katunku ke punggungnya, tak ada reaksi lalu
kutekan dengan sedikit keras sehingga penis besarku terasa gepeng
terjepit oleh perutku dan punggungnya. Bi Laha tersentak dan membuka
matanya, aku tidak peduli dan terus menggesek-gesekkan penisku,
perempuan itu menengok kebelakang dan terbelalak melihat dari dekat
bentuk penisku yang tercetak di celana katunku sedang menggesek-gesek
punggungnya.
(Laha merasa dirinya seperti orang bisu. Segala kata-kata yang ingin
ditumpahkan untuk menceritakan kenikmatan yang tengah dialaminya
terbendung di leher. Kala otaknya menyusun kalimat “Aku ingin buah
dadaku dicium” maka mulutnya mengucapkan “Auuuhh..” Kala otaknya
menyusun “Gigitlah putingku..” maka mulutnya mengucapkan “Emmhh…” Tak
ada lagi koordinasi antara otak dan tubuh. Apalagi ketika batang kenyal
besar itu mulai tergencet di punggungnya. Kehangatannya, kekenyalannya,
ukurannya, menyebarkan getaran-getaran listrik ke seluruh pembuluh
syaraf isteri kesepian itu. “Ingin benar rasanya aku membalikkan
badanku, membuka ritsluitingnya, lalu meraih batang perkasa itu untuk
kubelai, kuciumi lalu.. uh, beranikah aku memasukkannya ke mulutku?
Beranikah aku menghisapnya? Lalu apa kata keponakanku nanti? Apa ia akan
menganggapku murahan, seperti kata kakakku?” Lalu sel-sel otaknya mulai
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang semakin menakutkan perempuan itu,
“Pantaskah aku melakukan ini dengan keponakanku sendiri? Akankah ia
memaksaku untuk bersetubuh dengannya?” Laha ingin sekali bisa bicara
jujur pada hati nuraninya. Ia telah terlalu lama dahaga. Apalagi ia kini
dimadu. Karena ingin jujur itulah, ia memberanikan diri berharap
pertanyaan terakhirnya akan menjadi kenyataan. Lalu ia pun tersentak.
Tinggal selangkah lagi bagi dirinya untuk menyandang predikat isteri tak
setia.)
Tiba-tiba Bi Laha menatapku dengan kawatir, “Fi.. bibi takuut..” Aku
tersenyum dan dengan lembut tangan kananku kembali menutup matanya,
“Sshh.. ngga Papa bi.. nggada siapa-siapa kok dan bibi nggak akan saya
apa-apain, suer..” dengan penuh perasaan janji-janji surgaku mengalir
deras siap untuk mendinginkan gejolak ketakutannya and it works, otot
tubuhnya kembali terasa santai bahkan beberapa saat kemudian Bi Laha
mulai membalas gesekanku dengan menggerak-gerakkan punggungnya kekiri
dan kekanan seakan hendak memberikan kesempatan pada setiap pori kulit
punggungnya untuk menikmati kerasnya penisku. Melihat respon seperti itu
aku mulai lepas kendali sambil terus menggesekkan penis, meremas pundak
kirinya dan mulai membelai belahan buah dadanya dengan lembut kukecup
leher kirinya seraya bibirku menelusurinya turun ke pundak,
“Bi.. bayangkan lelaki itu mencium leher bibi.. terus turun ke pundak.. bayangkan bahwa sebentar lagi bibir itu akan melewati susu bibi, mencium-cium kecil sekeliling puting..”
“Ouhh Fiii… sss..” Bi Laha mendesis keras seraya menggerakkan kepalanya ke kanan pertanda mulai terangsang, bibirku kemudian menggigit-gigit kecil daun telinganya dan kemudian aku memasukkan lidahku di lubang telinganya dan mulai menciumnya, kepala Bi Laha menggeleng-geleng agak liar,
“Nggghh.. nggghh.. ” Erangnya kegelian.
“Senjata saya nikmat rasanya khan Bi…?” bisikku sambil terus menjilati telinganya. Sambil terus mengerang ia mengangguk,
“Lebih besar dari Mang Iyus bi..?” Erangan isteri pamanku itu terdengar mengeras, lagi-lagi ia mengangguk.
“Bibi mau ngerasain penis beneran saya..?” Bi Laha menengadahkan kepalanya dengan alis berkerut, mata terpejam dan mulut menganga.
“hh.. mm.. Mau Fi.. ehh..”
“Bi.. bayangkan lelaki itu mencium leher bibi.. terus turun ke pundak.. bayangkan bahwa sebentar lagi bibir itu akan melewati susu bibi, mencium-cium kecil sekeliling puting..”
“Ouhh Fiii… sss..” Bi Laha mendesis keras seraya menggerakkan kepalanya ke kanan pertanda mulai terangsang, bibirku kemudian menggigit-gigit kecil daun telinganya dan kemudian aku memasukkan lidahku di lubang telinganya dan mulai menciumnya, kepala Bi Laha menggeleng-geleng agak liar,
“Nggghh.. nggghh.. ” Erangnya kegelian.
“Senjata saya nikmat rasanya khan Bi…?” bisikku sambil terus menjilati telinganya. Sambil terus mengerang ia mengangguk,
“Lebih besar dari Mang Iyus bi..?” Erangan isteri pamanku itu terdengar mengeras, lagi-lagi ia mengangguk.
“Bibi mau ngerasain penis beneran saya..?” Bi Laha menengadahkan kepalanya dengan alis berkerut, mata terpejam dan mulut menganga.
“hh.. mm.. Mau Fi.. ehh..”
(Laha merasa otaknya sudah tak ada hubungan dengan organ lain tubuhnya.
“Edan, aku benar-benar tak tahu apa yang diucapkan mulutku”, perempuan
itu memaki. “Kata-katanya terlalu memojokkan. Penis pemuda ini terlalu
menggairahkan. Kecupan, jilatan, dan rabaannya membuat selangkanganku
semakin banjir. Ah, kata ‘penis’ lebih baik dari ‘anu’, dan jauh lebih
beradab dari ‘penis’.”)
Ketika itu juga kuselipkan tangan kananku ke balik beha hitamnya dan
yesss… keempukan dan kekenyalan buah dada kanan isteri pamanku ini
betul-betul terasa nikmat di dalam genggamanku, puting susunya begitu
keras dan panjang.
(“Ohh, ia meremas buah dadaku, pemuda itu benar-benar meremasnya! Inilah
kali pertama buah dadaku diremas-remas tangan lelaki bukan suaminya.
Ayo, ayo lebih keras, lebih keras, betapa selama ini aku merindukan
tangan lelaki. Oh Rafii, kamu adalah pria kedua selama hidup yang pernah
menjamah tubuhku.”)
“Bi Laha.. bayangkan lelaki itu sekarang dengan buas sedang mencupang
susu.. dan menyedot puting bibi…” r>”Ouuuhh.. haahh..” Bi Laha
menggelinjang sampai-sampai pantatnya terangkat dari kursi.. sikunya
menyenggol gelas di atas meja sehingga tumpah.. seakan diingatkan
tiba-tiba Bi Laha meronta mencoba melepaskan diri dari remasan dan
ciumanku.
(“Tunggu. Aku isteri orang! Dan anak muda yang tengah mempermainkan
putingku ini adalah keponakanku! Auh, sudah lama putingku tidak mengeras
seperti ini.”)
“Fi.. Fii.. sss.. ehh… Fiii… jangann.. nan.. nanti keterusan.. ahh..
jangan..” rintihnya memohon. Bukannya berhenti, malah dengan cepat
kuselipkan juga tangan kiriku ke balik beha satunya sehingga sekarang
kedua tanganku berada di balik behanya meremas kedua buah dada montok Bi
Laha. Dengan sekali sentak, kukeluarkan kedua buah dada besar itu
sehingga bentuknya menonjol ke atas karena tertahan oleh kedua cup beha
di bagian bawahnya. Tanpa membuang waktu, jari jempol dan telunjukku
memilin-milin putingnya yang berwarna coklat kemerahan itu. Bi Laha
semakin mengerutkan alis dan mulutnya meringis seperti orang kepedasan,
“Aouuuhh.. Fiii.. gelliii.. sss ” Bi Laha mulai mendesah dan mendesis
tak karuan. Kedua tangannya kini menjulur ke belakang memegang belakang
pahaku.
(“O Rafiii lebih keras, lebih keraass. Gigit puting bibimu sayang, gigit puting bibimuuu…”)
Sambil masih memilin puting kirinya dan menciumi lehernya, aku membuka ritsluiting celanaku, menurunkan sedikit celana dalamku, lalu kukeluarkan penis raksasaku. Tangan kananku menjulur kebawah lalu dengan sekali tarik kuangkat ujung baju kebayanya ke atas sehingga punggung mulus berhias tali beha hitam milik isteri Mang Iyus itu kini terpampang di hadapanku. Kuletakkan penisku yang sudah sangat tegang itu di atas kulit mulus punggung Bi Laha. Lagi-lagi Bi Laha membuka matanya dengan pandangan kebingungan, antara keinginan melihat penisku bercampur dengan ketakutan akan melakukan persetubuhan dengan lelaki bukan suaminya. Ia hanya bisa mengerang dan menggelinjang sambil menoleh menatapku ketika dirasanya daging keras penisku mulai menggesek-gesek kulit halus punggungnya, dirasanya punggungnya mulai ditetesi oleh cairan bening yang keluar dari lubang penisku. Bi Laha benar-benar terlihat berada di simpang jalan. Ia begitu bergairah dengan sensasi yang belum pernah dialaminya selama hidup, namun ia begitu ketakutan melihat keponakannya dengan penuh nafsu tengah meremas-remas susunya, memilin putingnya, menggesekkan penis di punggungnya, dan… perempuan itu dengan mudah menebak bahwa perbuatan ini akan berakhir dengan persetubuhan!
Sambil masih memilin puting kirinya dan menciumi lehernya, aku membuka ritsluiting celanaku, menurunkan sedikit celana dalamku, lalu kukeluarkan penis raksasaku. Tangan kananku menjulur kebawah lalu dengan sekali tarik kuangkat ujung baju kebayanya ke atas sehingga punggung mulus berhias tali beha hitam milik isteri Mang Iyus itu kini terpampang di hadapanku. Kuletakkan penisku yang sudah sangat tegang itu di atas kulit mulus punggung Bi Laha. Lagi-lagi Bi Laha membuka matanya dengan pandangan kebingungan, antara keinginan melihat penisku bercampur dengan ketakutan akan melakukan persetubuhan dengan lelaki bukan suaminya. Ia hanya bisa mengerang dan menggelinjang sambil menoleh menatapku ketika dirasanya daging keras penisku mulai menggesek-gesek kulit halus punggungnya, dirasanya punggungnya mulai ditetesi oleh cairan bening yang keluar dari lubang penisku. Bi Laha benar-benar terlihat berada di simpang jalan. Ia begitu bergairah dengan sensasi yang belum pernah dialaminya selama hidup, namun ia begitu ketakutan melihat keponakannya dengan penuh nafsu tengah meremas-remas susunya, memilin putingnya, menggesekkan penis di punggungnya, dan… perempuan itu dengan mudah menebak bahwa perbuatan ini akan berakhir dengan persetubuhan!
Jam dinding berdentang keras menandakan pukul 8 malam. Waktu dimana Mang
Iyus biasa pulang. Seakan tersadar dari mimpinya, Bi Laha meronta dan
menahan kedua tanganku yang masih sibuk meremas buah dada dan putingnya,
“Fi… tolong.. stoop.. inget Fi.. kamu keponakan bibi..” Sambil berkata,
perempuan itu menjauhkan kedua tanganku dari buah dadanya. Tak
kehilangan akal, begitu terlepas dari puting, tangan kananku langsung
menyambar selangkangannya dan meraba gundukan daging di balik kain jarik
yang sudah tak karuan bentuknya itu. Dengan cepat tanganku mengocok
vagina Bi Laha dari luar. Bi Laha sempat terbelalak melihat reaksiku, ia
sama sekali tak menduga gerakanku dan matanya tampak terkejap-kejap
menikmati kocokan jemariku di celana dalam nilon yang menutupi daerah
klitorisnya.
(“aahh, tangan keponakanku ini benar-benar luar biasa. Kocokannya
benar-benar membuat seluruh lorong vaginaku terasa geli. Dindingnya yang
terasa amat basah itu mulai berdenyut. Ingin rasanya aku membuka celana
dalamku dan membiarkan jemari kasarnya mempermainkan daging kemaluanku.
Sial, haruskah aku menghentikan kenikmatan ini? Tapi, betapa kejamnya
orang menghujat seorang isteri tak setia!”)
Sempat ia merenggangkan paha beberapa saat seakan menyilakan tanganku
mengeksplorasi vaginanya lebih jauh, namun dengan kekuatan entah dari
mana, ia berteriak “Fii.. lepaskaann Bibi…” lalu meronta, dan
mendorongku kebelakang hingga nyaris terjengkang. Perempuan itu meloncat
dari duduknya dan lari menjauh. Rambutnya acak-acakan, buah dadanya
bergelayutan keluar dari beha nya, kain jariknya nyaris lepas dari
stagennya. Sial! Padahal dia hampir menyerah! “Fi.. cukup Fi.. kita
nggak boleh berbuat lebih jauh dari ini, bibi yakin kalau kita teruskan
ini akan berakhir di atas ranjang.” katanya dengan nafas memburu sambil
membelakangiku dan memasukkan kembali kedua buah dadanya ke dalam beha.
“Nggak akan berakhir di ranjang bi.. kan saya sudah bilang dari awal..
bibi nggak akan saya apa-apain, masa bibi nggak percaya omongan saya?”
Ia merapikan baju kebaya dan rambutnya “Bukan itu Fi, bibi ngga percaya
pada bibi sendiri.”
(Mendadak Laha sendiri ragu. Apakah ia harus bangga atau menyesal akan keputusannya ini)
Lalu ia berbalik ke arahku dan perempuan itu terbelalak, ia tampak
terkejut dan tanpa sadar menjerit kecil, “Ya ampuunn Rafi.. besarnya…”
Mata Bi Laha terpaku pada penisku yang masih mengacung tegang keluar
dari celana dalamku. Urat-urat tegang tampak sekali menonjol di
sekeliling batang berdiameter 3-4 cm itu. Kepala penisku menunjuk
langsung ke wajah perempuan berusia paruh tiga puluh itu. Keraguan
kembali tergambar di air mukanya. Dari situ aku yakin, bahwa birahi
isteri pamanku itu masih tersisa terlalu banyak untuk dilewatkan begitu
saja. Nafsuku benar-benar sudah naik ke kepala, aku sudah tak peduli,
kubungkam suara hatiku, kubuang janji-janji bull shitku pada Bi Laha dan
dengan cepat kuhampiri tubuh montoknya lalu kupeluk dengan erat.
“Rafiii mau apa kamuffff.. mphh..” Teriakannya terpotong oleh lumatan
bibirku di atas bibirnya yang ranum itu. Itulah kali pertama aku mencium
bibiku.
(“Hah, ia menciumku, ia menciumku! Rafi, kamu adalah laki-laki kedua
dalam hidup yang pernah mencium bibir bibi. Oh, nikmat betul merasakan
lidahmu menyapu seluruh rongga mulut bibi. Nikmat betul merasakan
bibirku disedot dan digigit. Uh, apakah kamu juga akan menjadi lelaki
kedua yang akan.. yang akan.. menyetubuhiku? Dan gelagat itu sudah
tampak. Coba lihat, tanganku tak bisa bergerak. Tubuhku didekapnya erat.
Jangan-jangan, jangan-jangan.. pemuda ini sungguh-sungguh berniat
memperkosaku. Hah, bagaimana kalau orang lain tahu?” Bagi perempuan ini,
kata ‘perkosa’ kini menimbulkan gairah sekaligus kekhawatiran.)
Pelukanku sedemikian eratnya sehingga terasa buah dadanya yang
menggencet dadaku seakan hendak pecah. Ia melepaskan bibirnya dari
lumatanku dan memalingkan muka mencoba untuk melawan. “Rafi.. jangan..
saya istri pamanmu.. ohh… nanti bibi teriak!” Tak kuhiraukan
kata-katanya. Di kupingku terngiang bisikan-bisikan yang terasa semakin
keras : Dia mau.. Dia mau.. Paksa dia.. Perkosa dia..! Maka dengan
bertubi-tubi kuciumi lehernya sehingga walaupun ia meronta dan
memukul-mukul punggungku, terasa sesekali badannya menggelinjang karena
geli. Bunyi kecupan bercampur erangan birahiku dan desahan yang memohon
aku melepaskannya menggema di udara dingin rumah besar di Kabupaten
Garut itu. Ia memejamkan matanya tak berani menatapku yang kini mulai
menjilati telinga dan lehernya, “TOLOOONG… TOLoooNG!!!” Tiba-tiba
perempuan itu menjerit.
(“Aku takut! aku benar-benar takut! Saat ini aku memang dahaga lelaki.
Dan itu bukan berarti aku mau diperkosa oleh keponakanku sendiri.
Apalagi katanya, seorang pemerkosa cenderung selalu berbuat kasar. Oh
tiba-tiba aku merasa begitu ngeri melihat pemuda itu menciumi leher dan
kupingku dengan ganas. Tapi, haruskah berteriak?”)
Aku terkejut mendengar teriakan Bi Laha. Ini bahaya..! Bisa bubar semua
rencana! Lalu kudorong dengan paksa dan kurebahkan tubuh sintal yang
meronta-ronta itu ke atas meja. Kedua tanganku dengan kuat menahan
pergelangan tangannya yang kini membentang ke atas. Bi Laha semakin
meronta. Kepalanya di palingkan dengan keras ke kiri ke kanan untuk
menghindari bibirnya dari lumatanku. Pinggulnya yang terbaring di
pinggir meja disentak-sentak untuk menjauhkan penisku dari
selangkangannya. Well, tak ada pilihan lain, sorry Bi Laha. Lalu dengan
kasar kutindih tubuh montok itu sehingga rontaanya tertahan, pinggulku
mengunci gerak selangkangannya, penisku kini tergencet oleh perutku dan
selangkangannya.
(“Betul dugaanku. Lelaki ini tiba-tiba jadi kasar! Aduh, aku jadi
betul-betul ngeri! Aku takut ia menamparku, aku takut ia melukaiku. Aku
juga takut, ia akan mengoyak-ngoyak vaginaku. Ya Tuhan, malang nian
nasibku. Aku takut darah!”)
Lalu tanpa sengaja penisku itu tergencet oleh sebuah gundukan daging
hangat yang terasa ditutupi oleh bulu-bulu lebat. Berani taruhan bulunya
pasti lebat sekali, soalnya dari luar kain kebayanya saja sudah terasa
kelebatannya, mengingat itu darahku terasa berdesir.
(“Tunggu Laha, ketakutanmu terlalu berlebihan. Pemuda ini cuma kasar
ketika menindihmu. Itu pun karena kau berteriak!” Logika Laha mulai
bicara. Tiba-tiba perempuan itu menyadari betapa sesungguhnya kekasaran
pemuda itu tak lebih dari reaksi akibat terakannya tadi. Lalu kengerian
itu sirna. Lalu ada kehangatan di selangkangannya. “Ouuh Rafi, sungguh
hangat dan keras penismu itu. Ayo, gesekkan, gesekkan penismu di atas
vagina bibi… Tapi.. tapi.. bagaimana kalau suamiku tiba-tiba pulang?”)
“Silakan berteriak bi.. ngga ada gunanya.. di rumah ini nggak ada
siapa-siapa.. orang di jalanan juga ngga bisa denger..” kataku menantang
dengan nafas tak kalah memburu dengan Bi Laha. “Kalaupun ketahuan
paling saya diusir.. tapi bibi..? Bibi bisa dicerai oleh Mang Iyus yang
sudah punya Nuke, jadi apa untungnya berteriak?” Bibiku tak bisa
menjawab namun matanya menyorotkan sinar kemarahan padaku. Entah marah
karena kata-kataku atau perbuatanku.
(“Jangan pernah kau sebut nama sundal itu di hadapanku!”)
“Bi.. saya tau bibi selama ini kesepian, apalagi setelah Mang Iyuspunya
Nuke makanya bi.. pikir praktis saja.. kalau Mang Iyus boleh punya
perempuan lebih dari satu.. kenapa bibi nggak..?” Aku mulai coba
meyakinkan bibiku dengan logika-logika ngawurku. Bi Laha kembali
memejamkan mata dan memalingkan muka seraya menggigit bibir. Tampak
betul ia tengah berusaha menekan kemarahan di dalam dadanya. Mataku
menelusuri tubuh sintal yang tertindih oleh tubuhku. Baru kusadari
betapa merangsangnya posisi tubuh Bi Laha itu dilihat dari atas. Kedua
tangannya membentang ke atas dan pahanya mengangkang. Ketiaknya yang
tampak putih di balik kebaya brokat hijau itu dipenuhi oleh bulu
keriting yang lebat. Wangi khas menyebar dari ketiaknya menandakan
mental perempuan itu saat ini tengah tertekan. Tapi wangi itu membuat
gairahku meningkat lagi. Suka atau tidak, isteri pamanku ini akan
kesetubuhi! Aku kembali menciumi leher Bi Laha dengan bertubi-tubi,
terus ke dada mengitari puting susu lalu mampir ke ketiaknya yang
rupanya merupakan weak point bibiku karena terdengar ia mendesah ketika
aku mulai mengecupnya, tanganku melepaskan pergelangan tangan Bi Laha
dan, brettt..! Dengan kasar kurobek kebaya di bagian dada sehingga buah
dada besar yang masih tertutup BH hitam itu terbuka menantang wajahku.
Tangan Bi Laha berusaha menutupi dadanya yang kini bebas dilihat oleh
mataku. “hh.. Fiii… bibi malu…” bisiknya lirih.
(“Ya Tuhan, ia akan melakukannya.. ia akan melakukannya! Ia akan memperkosaku! Ooohh.. semoga tak ada kekasaran lagi.”)
Aku kembali meraih tangan Bi Laha dan menahannya dalam posisi membentang
ke atas. Posisi itu membuat bagian depan kebaya brokatnya terbuka ke
samping sehingga perutnya yang kencang dan mulus itu terlihat dengan
jelas. Buah dadanya terangkat keatas tertarik behanya yang cuma mampu
menutupi 3/4 bagian buah dada bibiku itu. Bagian bawah bukit kembarnya
menonjol keluar dari bagian bawah beha hitam berukuran 34 itu. “Susu
bibi seksi sekali.. Mang Iyus benar-benar lelaki beruntung.. ” Dan aku
pun mulai menciumi daging empuk di bagian atas buah dadanya, lalu aku
gigit behanya dan kuangkat kedua cup-nya sehingga kedua buah dada itu
melejit keluar. Wuiihh.. benar-benar buah dada yang indah, begitu putih
dan mulus, urat-urat birunya tergurat halus di sekitar putingnya yang
berwarna coklat kemerahan. Aku mulai mengecup dan menjilati buah dada
kenyal itu dengan rakus, kecupan dan jilatanku itu mulai menyusuri
daerah sekeliling putingnya. Gerakan melingkar itu semakin kecil dan
semakin kecil, “Ehh.. Euhh… sss…” Ditengah rontaannya yang mulai
melemah, terdengar Bi Laha merintih dan mendesis keenakan sambil terus
membuat gerak melingkar lidahku sesekali menyentil putingnya membuat
rintihannya semakin keras diselingi dengan nada kesal karena merasa
dipermainkan… hehe.. rupanya perempuan ini ingin cepat-cepat diisap, if
that what you want that is what you get. Satu, dua… dan… tiga! Lalu
kumasukkan puting dan 1/2 buah dada istri pamanku itu ke dalam mulutku.
“Aohh… sss…” Gerakan tubuh Bi Laha mulai liar. Lalu dengan rakus kusedot
dan jilat putingnya bergantian kiri dan kanan. Sambil merintih Bi Laha
menjilati bibirnya sendiri dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Rambutnya
sudah awut-awutan dan setengah basah terkena tumpahan air minum di
meja. Denyutan di penisku terasa makin keras, akupun tak mau
berlama-lama. Sambil terus menyedot buah dada dan putingnya, tangan
kiriku melepaskan tangan Bi Laha dan dengan cepat menyingkap kain kebaya
Bi Laha sampai sebatas perut sehingga terlihatlah pahanya yang putih
mulus itu mengangkang di depan penisku. Dari luar celana dalam nya yang
berwarna krem, terbayang segumpal bulu keriting lebat yang menutupi
vagina. Sebagian daripadanya nampak keluar dari celana dalam yang basah
di daerah selangkangan itu. Duh Bi Laha… aku benar-benar tak sabar untuk
segera mencium, menjilat, dan memasukkan penisku ke vaginamu yang
seksi. Lalu tangan kiriku dengan cepat meraba pahanya dari lutut sampai
selangkangan. Begitu sampai, jari tengahku langsung kutempelkan di
belahan vaginanya, dengan seketika jariku merasakan kehangatan pada
celana dalam yang sudah basah dan lengket itu. Pelan-pelan kutekan jari
tengahku sehingga kain celana dalamnya ikut melesak masuk ke liang
vaginanya. Otot Bi Laha menegang, pinggulnya terangkat sedikit membuat
jariku dan kain celana dalamnya semakin terbenam, “Fii.. eeehh…” Dengan
mata terbelalak ia merintih. Kepanikan mulai terbayang di wajahnya.
(“Oooh Rafi, terus terang aku takut. Aku yakin perbuatan kita ini akan
berakhir dengan persetubuhan. Dan aku takut kalau suamiku benar-benar
pulang! Dan menceraikanku dengan tuduhan bersetubuh dengan keponakannya!
Tapi bukankah aku diperkosa?” Laha tersentak. Ternyata ia mulai mencari
justifikasi.)
Tangan kanannya yang bebas memegang dadaku seakan siap untuk mendorong..
Oh NO YOU DON’T.. tak akan kubiarkan terulang lagi, kuhentikan semua
aktivitasku lalu SReeeT..! Dengan cepat kedua tanganku menarik celana
dalam isteri kesepian itu ke bawah sehingga lolos melalui kedua
pergelangan kakinya. “Ahh.. FIII JANGaaNNN…” Bi Laha menjerit dan
mencoba bangkit. Tapi.. BRAAK!! Dengan cepat kutindih kembali tubuh
montok yang hampir saja terduduk itu sehingga punggungnya yang mulus
sedikit terhempas ke meja. Wajah Bi Laha semakin panik ketika
kutempelkan kepala penisku ke liang vaginanya.
(“Ya Tuhan, ia mulai kasar lagi dan penisnya, penis besarnya akan
memasukiku! Sanggupkah aku menampungnya? Sakitkah rasanya? Aduuh, kenapa
aku jadi panik begini? Persis seperti seorang gadis yang akan
diperawani. Oh.. Rafi, bibi benar-benar mengharapkan kau melakukannya.
Bibi benar-benar ingin bersetubuh denganmu. Tapi bibi malu karena kamu
keponakanku sendiri. Bibi juga takut Mang Iyus tahu perbuatan kita. Oh
Rafiii, gelinya bibir vagina bibi… jangan berlama-lama sayang, persetan
dengan pamanmu, masukkan sekarang.”) Kebisuan kembali menyelimuti kami
berdua. Ruangan asri rumah Bi Laha itu terasa semakin luas dan mencekam
dengan kesunyian itu. Suara jangkrik dan kodok sawah terdengar saut
menyaut. Sesekali terdengar suara angkutan pedesaan melewati jalan raya.
Juga suara delman dan motor melintas. Ahh, desa yang tenang dan damai.
Tempat yang sangat sempurna untuk berlibur dan bermalas-malasan. Tapi
tidak dengan kebisuan seperti ini. Aku menguap seraya melihat arloji.
Sudah 20 menit lebih kami tak berkata-kata. Dan Mang Iyus belum juga
datang. Isterinya sudah terlihat gelisah sambil terus-terusan memandang
jam dinding. “Nggak biasanya Mang Iyus begini..” suaranya terdengar
lirih.
Kriiing… Kami berdua terlonjak karena kaget. Telepon sialan, makiku dalam hati.
(“Telepon keparat!”)
Bi Laha bergegas mengangkatnya. Tampaknya Mang Iyus lagi yang menelepon. Mereka terlibat pembicaraan sejenak.
“Lo bapak ini gimana sih? Kita kan sudah siap dari tadi..” Terdengar suara Bi Laha meninggi.
“Iyaa saya ngerti.. tapi apa segitu mendesaknya sampai bapak musti batalin janji makan malam dan nginep disana??” O.. Oo.. naga-naganya aku bisa menebak kemana arah pembicaraan ini.
“Apa? Cuma gara-gara ibunya pusing-pusing bapak harus nganter ke dokter? Apa perempuan itu ngga bisa anter sendiri? Dengar Pak, saya juga punya hak sebagai isteri pertama. Hari ini semestinya adalah hak saya. Bilang sama perempuan itu, kalau mau jadi isteri kedua harus berani tanggung konsekuensi.. kalau bukan harinya, jangan minta-minta antar ke dokter!” Braak! Bi Laha membanting gagang telepon seraya menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menutup muka dengan kedua tangannya.
“Lo bapak ini gimana sih? Kita kan sudah siap dari tadi..” Terdengar suara Bi Laha meninggi.
“Iyaa saya ngerti.. tapi apa segitu mendesaknya sampai bapak musti batalin janji makan malam dan nginep disana??” O.. Oo.. naga-naganya aku bisa menebak kemana arah pembicaraan ini.
“Apa? Cuma gara-gara ibunya pusing-pusing bapak harus nganter ke dokter? Apa perempuan itu ngga bisa anter sendiri? Dengar Pak, saya juga punya hak sebagai isteri pertama. Hari ini semestinya adalah hak saya. Bilang sama perempuan itu, kalau mau jadi isteri kedua harus berani tanggung konsekuensi.. kalau bukan harinya, jangan minta-minta antar ke dokter!” Braak! Bi Laha membanting gagang telepon seraya menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia menutup muka dengan kedua tangannya.
(“Suami egois! Tak adil! Aku benar-benar merasa seperti keranjang
sampah. Sesak di dadaku semakin menggunung dan menggunung, lalu mendesak
keluar. Air mataku mulai mengalir. Tiba-tiba aku terkesiap. Belum
pernah aku membentak-bentak suamiku sebelumnya. Belum pernah aku
mengahiri pertengkaran dengan bantingan telepon. Belum pernah aku
seberani ini. Lalu, bayang-bayang pergumulanku dengan Rafi melintas.
Karena itukah aku jadi berani?”)
Aku memberanikan diri melirik ke arah Bi Laha. Perempuan itu tengah
duduk sambil menutup muka di sofa. Shit! Kenapa liburanku harus diwarnai
hal-hal seperti ini? Kenapa pula aku memilih tempat ini sebagai tempat
berliburku? Aku menghela nafas. Ingin rasanya aku mendekati wanita yang
tengah bersedih itu dan menghiburnya. Tapi saat itu, aku benar-benar tak
tau harus berbuat apa.
Kriiing.. Setan! Sekali lagi ia mengejutkanku, akan kulempar ke tong
sampah. Telepon itu berdering berkali-kali namun Bi Laha tak juga
beranjak mengangkatnya.
“Bibi ingin saya yang mengangkatnya?” Aku menawarkan diri. Bi Laha
mengangkat mukanya. Matanya merah dan basah oleh air mata. Ia tersenyum
kecil, dan menggeleng. “Ngga usah Fi.. kamu baik sekali.. biar bibi yang
angkat..” Kasihan benar bibiku yang cantik ini. Andai aku dapat
menghiburmu. Telepon itu ternyata dari Mang Iyus lagi. Mereka lagi-lagi
terlibat pertengkaran soal hak isteri pertama dan kedua. Bi Laha juga
tanpa tedeng aling-aling menuduh Mang Iyus telah melalaikan kewajibannya
untuk memenuhi haknya sebagai isteri pertama. Aku membuka pintu depan
dan duduk di teras agar tidak mendengarkan pertengkaran itu. Tapi
sia-sia, karena di daerah yang sepi seperti Cilimus, orang bisa
mendengar suara lebih dari 50 meter. Aku memenuhi paru-paruku dengan
udara malam yang segar. aahh.. aku tersenyum sendiri mengingat
pengalamannya hari ini. Adakah kesempatan seperti itu akan terulang
lagi?
“Saya nggak peduli. Bapak nggak pulang selama sebulan juga saya nggak
peduli. Sekarang saya akan kunci rumah, dan pergi tidur. Saya ngga mau
liat mukamu malam ini!” Braak! Lagi-lagi Bi Laha mengakhiri
pembicaraannya dengan acara banting telepon. Diam-diam aku kagum pada
bibiku ini. Sehari-hari ia tampak begitu lincah dan ramah. Bertolak
belakang dengan apa yang baru saja kulihat. Ia bagai seekor singa betina
yang mengaum menggetarkan sukma. Aku menghela nafas, lalu masuk kembali
dan mengunci pintu. Terlihat Bi Laha masih terduduk di sofa besar dekat
meja telepon. Ia kini bersandar sambil menutupi matanya dengan tangan
kanan. Tangan kirinya memegang tisu yang sesekali digunakan untuk
menghapus air mata yang mengalir deras di pipinya. Dengan hati-hati aku
duduk di sampingnya. Walau sempat ragu, kujulurkan tanganku memeluk
pundaknya. “Mau berbagi cerita dengan saya Bi..? Mudah-mudahan bisa
mengurangi beban Bibi.” Bisikku dengan lembut. Tiba-tiba isteri pamanku
ini menjatuhkan kepalanya ke dadaku dan menangis tersenguk-senguk.
“Bibi sangat setia pada pamanmu Fi.. bibi banyak berkorban untuknya.. tapi kenapa sekarang bibi disia-siakan…” Lalu ia menceritakan bagaimana ia membantu Mang Iyus membangun usahanya. Ia juga bercerita bahwa tanah rumah ini adalah pemberian orang tua Bi Laha. Ia juga bercerita suatu ketika Mang Iyus ditipu orang sehingga harus menjual sebagian hartanya. Bi Laha menjual seluruh perhiasannya untuk menolong suaminya itu. Dan begitu banyak cerita lainnya yang menyimpulkan betapa tegarnya perempuan ini. Ia pun tetap tegar ketika harus menerima kenyataan untuk dimadu. Kami terdiam beberapa saat. Tangan kananku memeluk pundaknya dan tangan kiriku membelai lembut rambutnya. Tangan kanan Bi Laha memeluk leherku sementara kepalanya masih terus bersandar di dadaku.
“Bibi sangat setia pada pamanmu Fi.. bibi banyak berkorban untuknya.. tapi kenapa sekarang bibi disia-siakan…” Lalu ia menceritakan bagaimana ia membantu Mang Iyus membangun usahanya. Ia juga bercerita bahwa tanah rumah ini adalah pemberian orang tua Bi Laha. Ia juga bercerita suatu ketika Mang Iyus ditipu orang sehingga harus menjual sebagian hartanya. Bi Laha menjual seluruh perhiasannya untuk menolong suaminya itu. Dan begitu banyak cerita lainnya yang menyimpulkan betapa tegarnya perempuan ini. Ia pun tetap tegar ketika harus menerima kenyataan untuk dimadu. Kami terdiam beberapa saat. Tangan kananku memeluk pundaknya dan tangan kiriku membelai lembut rambutnya. Tangan kanan Bi Laha memeluk leherku sementara kepalanya masih terus bersandar di dadaku.
(“Pemuda ini sungguh penuh perhatian. Kelembutannya melebihi lelaki
manapun yang pernah kukenal. Hanya beberap menit, dan ia sanggup
mengurangi kesal di hatiku.” Perempuan itu mendongak memandang wajah
keponakannya. “Rafi, sorot matamu sungguh sejuk. Bibi benar-benar merasa
aman di dalam pelukanmu.” Harum nafas pemuda itu terasa begitu dekat
dengan bibirnya. Tiba-tiba Laha merasa sangat sayang padanya. Ia seakan
telah mengenal lelaki itu sangat lama.)
Tangan kanan Bi Laha membelai pipi kiriku dengan kasih sayang, lalu ia
mengecup pipi kananku lembut. “Terima kasih Fi.. terimakasih untuk
menemani di saat bibi butuh seseorang..” Aku tersenyum. “Saya senang
bisa membantu bibi.. Saya sayang pada bibi..” ujarku tulus. Kata-kataku
itu membuat bibiku terharu. Kembali ia menyenderkan kepalanya seraya
memeluk leherku dengan lebih erat. Aku pun hanyut oleh rasa kasih sayang
yang menyelimuti hati kami. Dengan penuh ketulusan aku mencium kening
Bi Laha lamaa sekali. Lalu kukecup pipinya yang terasa basah oleh air
matanya. Bi Laha mendongakkan kepalanya memandangku dengan senyuman
sayang. Hidung mancungnya dekat sekali dengan hidungku. Kami berdua bisa
menghirup wangi nafas masing-masing. Mata kami saling beradu pandang.
Oh, alangkah indahnya matamu bi… alangkah cantiknya wajahmu… kalau kau
bukan isteri pamanku, aku pasti jatuh cinta padamu. Tak peduli kau 12
tahun lebih tua dariku.
(“Ohh.. Rafi.. bibi benar-benar takluk melihat matamu. Seakan ada magnet
yang membuat orang lain tertarik untuk terus memandangi.. Sayang bibi
lahir terlalu cepat 12 tahun. Kalau tidak, kita pasti sebaya, dan kita
pasti cocok satu sama lain dan akulah yang akan memuaskan malam-malam
dinginmu dan aku juga yang pasti menjadi perempuan pertama yang menyedot
dan menghisap.”)
Aku menempelkan bibirku di atas bibir Bi Laha. Perempuan itu tanpa ragu
menyambut ciuman lembutku. Ciuman ini terasa berbeda dari ciuman-ciuman
sebelumnya. Ciuman kali ini lebih merupakan pernyataan kasih sayang
dibanding sekedar nafsu.
(“Sayangku, alangkah hangatnya bibirmu. Peluklah aku lebih erat lagi.
Leburlah tubuhku dengan ragamu. Malam ini aku bukanlah isteri pamanmu.
Malam ini aku adalah kekasihmu. Kali ini, kamu tak perlu lagi
memperkosaku. Kamu boleh menggumuli tubuhku sepuasmu. Kamu boleh
memasukkan penismu sepuas-puasnya. Oh, belum lebih dari satu jam, aku
sudah amat rindu pada penismu itu.”)
Entah siapa yang memulai tahu-tahu bibir kami sudah saling memagut.
Lidah Bi Laha mencoba menerobos masuk ke mulutku. Beberapa kali lidahnya
bertumbukan dengan lidahku yang juga berupaya untuk menjelajahi lorong
mulutnya. “Emmh.. mmh..” Perempuan itu mengerang ketika lidahku berhasil
melesak masuk mulutnya dan dengan cepat mulai menjelajahi
langit-langitnya. Kedua tanganku kini memegang pipinya sehingga aku
dapat mengontrol pagutan bibir dan lidahku. Lalu Bi Laha mencengkram
tangan kiriku dan membimbingnya ke bawah melalui leher, pundak, terus ke
dadanya yang busung. Aku mulai tak percaya dengan respon isteri pamanku
itu. Belum genap satu jam yang lalu, perempuan itu masih meronta-ronta
menolak remasan dan rabaanku. Tapi sekarang, bibiku tanpa malu-malu
membawa tanganku ke dadanya. Kuselipkan tanganku ke balik kebayanya
sehingga terpegang bukit daging yang masih dilapisi oleh beha. Lalu,
kuselipkan telapak tanganku ke balik behanya yang elastis itu sehingga
dengan mudah kukeluarkan buah dada kanan Bi Laha dari cup behanya.
“Emmh..” perempuan itu menggelinjang ketika dengan gemas kuremas-remas
buah dada montok berwarna putih itu. Remasanku membuat bentuk daging
kenyal itu berubah-ubah dari bundar ke lonjong, bundar-lonjong,
bundar-lonjong. Lalu, jempol dan telunjukku mulai memilin-milin puting
berwarna coklat tua itu. “Yang keras Fi.. yang kerass.. Ahh..” Bi Laha
mendesah seraya menyodorkan dadanya sehingga telapak tanganku semakin
dipenuhi oleh gumpalan bukit kenyalnya. Dan tubuhnya semakin
menggelinjang ketika kuciumi jenjang lehernya yang putih mulus bagai
pualam. Desahannya nyaris menjadi jeritan ketika puting yang telah
berubah menjadi keras dan panjang itu kupijit dan kutarik. “aahh.. gila,
tarik lagi Fi.. tarik lagiiih.. yang keraass… euuhh.”
(“Saat ini puting buah dadaku terasa seperti tombol listrik yang
mengalirkan gelombang kenikmatan keseluruh tubuh setiap kali dipelintir
oleh tangan pemuda ini. Remasan-remasan di daging buah dadaku
menunjukkan kombinasi gelora birahi muda dengan luapan kasih sayang.
Sesekali kasar menyakitkan, namun lebih sering lembut menghanyutkan.
Malam ini, aku merasa seperti orang yang terbebas dari kamar gelap,
pengap dan terkunci. Paru-paruku terasa penuh oleh udara sejuk
kebebasan. Baru kali ini aku merasa kedudukanku diatas suamiku. Perasaan
itu timbul karena aku berani mengambil keputusan untuk tak
mempedulikannya. Kini, aku hanya akan peduli pada diriku sendiri. Dan
malam ini, aku hanya akan peduli pada nafsu birahiku.”)
Bi Laha menghentikan pagutannya di bibirku. Ia menjauhkan tanganku dari
buah dadanya, lalu berdiri. Seraya tersenyum dan memandang mataku dengan
pandangan penuh birahi, perempuan itu membuka kancing kebayanya satu
per satu. Lalu ia membuka kebayanya, menggerakkan pundak, dan seketika
itu juga kain kebaya pink itu jatuh ke lantai melingkari telapak
kakinya. Jantungku makin berdegup kencang melihat tubuh mulus isteri
pamanku yang berdiri setengah telanjang di hadapanku. Dengan sigap,
tangannya membuka stagennya, dan tak sampai satu menit, kain jarik
itupun terjatuh menimbun kakinya yang masih mengenakan sepatu hak
tinggi. Maka, tubuh sintal itu kini hanya dibalut beha dan celana dalam
saja. Mataku tekejap-kejap tak percaya melihat pemandangan di hadapanku.
Bi Laha mengenakan beha berbentuk bikini yang hanya menutupi sebagian
kecil ujung buah dadanya. Tali pundak dan punggungnya tampak tak lebih
dari seutas tali kecil. Celana dalamnya yang berwarna putih juga
berbentuk bikini pantai yang hanya menutupi daerah selangkangan dan
pantat yang dihubungkan oleh seutas tali melintasi pinggul kiri dan
kanannya. Di bagian selangkangan, gumpalan bulu keriting nampak
menerawang di balik celana dalam tipis dari bahan nilon itu. Wow.. tak
pernah kubayangkan di balik kain kebaya isteri pamanku ini tersembunyi
beha dan celana dalam yang desainnya sangat merangsang!!
“Kamu suka modelnya Fi?” Bi Laha tersenyum memandang wajahku yang melongo terpesona. Kedua ibu jarinya mengait pada tali BH di depan dada. Pelan-pelan jempolnya menarik tali itu sehingga penutup buah dadanya bergeser ke atas. “Su.. suka sekali bi..” Aku menahan nafas melihat puting coklatnya sedikit demi sedikit terlihat. Tanganku dengan cepat membuka T-Shirt ku. Lalu, kuturunkan ritsluiting celana jeans-ku dan meloloskannya melalui kedua kaki. Tubuh atletisku kini hanya dibalut celana Calvin Klein merah tua. Dan celana itu tak mampu menutupi bola besarku yang diselimuti bulu-bulu keriting yang lebat. Batang penisku yang sudah tegak itu tampak menonjol di celana berbahan elastis itu. Mata Bi Laha berkejap-kejap memandangi bongkahan daging di selangkanganku itu. Lalu dengan gerakan cepat, Bi Laha menyentakkan tali behanya sehingga kedua buah melon montok itu melejit keluar dari cup-nya dan bergayut menantang untuk dijamah.
“Kamu suka modelnya Fi?” Bi Laha tersenyum memandang wajahku yang melongo terpesona. Kedua ibu jarinya mengait pada tali BH di depan dada. Pelan-pelan jempolnya menarik tali itu sehingga penutup buah dadanya bergeser ke atas. “Su.. suka sekali bi..” Aku menahan nafas melihat puting coklatnya sedikit demi sedikit terlihat. Tanganku dengan cepat membuka T-Shirt ku. Lalu, kuturunkan ritsluiting celana jeans-ku dan meloloskannya melalui kedua kaki. Tubuh atletisku kini hanya dibalut celana Calvin Klein merah tua. Dan celana itu tak mampu menutupi bola besarku yang diselimuti bulu-bulu keriting yang lebat. Batang penisku yang sudah tegak itu tampak menonjol di celana berbahan elastis itu. Mata Bi Laha berkejap-kejap memandangi bongkahan daging di selangkanganku itu. Lalu dengan gerakan cepat, Bi Laha menyentakkan tali behanya sehingga kedua buah melon montok itu melejit keluar dari cup-nya dan bergayut menantang untuk dijamah.
“Kamu tega membiarkan bibi kedinginan Fi..?” Katanya sambil membuang
behanya ke sofa. Tak tahan dengan godaan perempuan berusia 35 tahun yang
sangat mengundang itu, aku meloncat dari dudukku dan menubruk tubuh
sintal telanjang yang cuma ditutupi celana dalam tipis itu. Tanganku
memeluk erat pinggangnya dan Bi Laha menyambut dengan pelukan yang tak
kalah erat di leherku. Dadaku terasa sesak digencet oleh kedua buah
dadanya yang montok. Lalu sambil berdiri, kami saling memagut,
menggigit, dan menjilat dengan buas. Jemari lentik perempuan itu
membelai-belai rambut belakangku dan meremas punggungku. Tanganku
bergerak ke bawah menelusuri punggungnya yang putih bak pualam itu
sebelum menyelinap masuk ke dalam celana dalam nilonnya. Lalu dengan
penuh nafsu kuremas dengan keras kedua buah pantatnya. “Emmhh..” Bi Laha
mengerang keras sambil terus menyedot lidahku. Selama beberapa saat
pantat bulat Bi Laha habis kuremas-remas membuat perempuan itu
menggeliat-geliat keras sehingga buah dadanya menggesek-gesek dan
menggencet dadaku.
(“Oohh gila remasannya.. belum pernah suamiku menggunakan pantatku
sebagai obyek seks-nya.. tapi pemuda ini.. aku betul-betul dibuat gila..
ingin rasanya aku berteriak-teriak liar dan menggeliat-geliat histeris
untuk menyemburkan bara gelora yang sudah sedemikian lama terpendam.
Dan, tanpa sadar aku sudah melakukannya. Aku mulai menggelat-geliat
liar! Ooohh nikmatnya menggesek-gesekkan putingku ke dadanya yang
bidang. Nikmatnya menggesek-gesekkan selangkanganku ke bongkahan daging
di selangkangannya. Tunggu! Bongkahan itu! Bongkahan itulah yang saat
ini amat sangat kurindukan.
Laha melepaskan pelukannya dari leher Rafi, lalu menempelkannya di dada bidang pemuda itu.
Uuuhh.. Rafi sayang, dadamu begitu kokohnya.. tak heran aku merasa begitu nyaman menyandarkan kepalaku disana. Ayo sayang, sekarang menggeliatlah.. biar kumainkan putingmu dengan jemariku. Yah, mengeranglah.. kamu keenakan kan? Auw!! Jangan cubit pantatku!”)
Laha melepaskan pelukannya dari leher Rafi, lalu menempelkannya di dada bidang pemuda itu.
Uuuhh.. Rafi sayang, dadamu begitu kokohnya.. tak heran aku merasa begitu nyaman menyandarkan kepalaku disana. Ayo sayang, sekarang menggeliatlah.. biar kumainkan putingmu dengan jemariku. Yah, mengeranglah.. kamu keenakan kan? Auw!! Jangan cubit pantatku!”)
“Nakal!” Bi Laha balas mencubit putingku. Aku meringis. “Habis saya
nggak tahan waktu bibi memainkan puting saya.. gelii..””Hmm” Bi Laha
tersenyum nakal sambil menurunkan kedua tangannya ke arah perutku. “Geli
mana dengan ini Fi?” Dengan cepat perempuan itu memasukkan tangannya ke
celana dalamku dan, “Oaahh”, dalam sekejap penisku sudah berada dalam
genggamannya.
(“Pantas saja benda ini nyaris mengoyak vaginaku. Gila, diameternya!
Kurasakan jempolku sampai tak bisa bertemu dengan jemariku yang lain!
Dan kekenyalannya… ooohh.. sangat menggemaskan. Sangat menggoda untuk..
untuk… dikulum! Oh, haruskah aku menunggu sampai lelaki ini meminta?”)
Aku merasakan kecanggungan Bi Laha ketika menggenggam penisku. Seakan-akan tengah menimbang-nimbang “Mau diapakan benda ini?” “Dikocok dong Bi…” bisikku memohon. Seketika itu juga tangan Bi Laha mulai bergerak-gerak di dalam celana dalamku. “Iya bi.. iyaahh.. lebih cepat bi.. lebih cepaat.” Tampaknya untuk soal kocok mengocok, Bi Laha lumayan berpengalaman. Ia juga tahu tempat sensitif pria di urat sebelah bawah kepala penis. Seraya mengocok naik-turun, jempolnya mempermainkan urat itu membuat mataku terbeliak dan pinggulku berputar-putar. “Enak bi.. aahh.. ennnaak..” Lalu tanganku melepaskan remasan di pantatnya, dan kusentakkan tali celana dalam nilonnya. Maka terlepaslah penutup terakhir tubuh sintal isteri Mang Iyus itu. Dengan sigap kuletakkan jari tengahku di belahan vagina Bi Laha. Kusibakkan hutan lebat keriting itu, lalu jariku mencari-cari tonjolan kecil di bagian atas vaginanya.”aahh… sss… aahh.. agak keatas Fi.. agak keatas.. iyaah.. Yang ituuu.. yang ituuu.. ouuuh…” Kembali tangan kanan Bi Laha memeluk leherku, sementara tangan kirinya semakin cepat mengocok penisku.
Aku merasakan kecanggungan Bi Laha ketika menggenggam penisku. Seakan-akan tengah menimbang-nimbang “Mau diapakan benda ini?” “Dikocok dong Bi…” bisikku memohon. Seketika itu juga tangan Bi Laha mulai bergerak-gerak di dalam celana dalamku. “Iya bi.. iyaahh.. lebih cepat bi.. lebih cepaat.” Tampaknya untuk soal kocok mengocok, Bi Laha lumayan berpengalaman. Ia juga tahu tempat sensitif pria di urat sebelah bawah kepala penis. Seraya mengocok naik-turun, jempolnya mempermainkan urat itu membuat mataku terbeliak dan pinggulku berputar-putar. “Enak bi.. aahh.. ennnaak..” Lalu tanganku melepaskan remasan di pantatnya, dan kusentakkan tali celana dalam nilonnya. Maka terlepaslah penutup terakhir tubuh sintal isteri Mang Iyus itu. Dengan sigap kuletakkan jari tengahku di belahan vagina Bi Laha. Kusibakkan hutan lebat keriting itu, lalu jariku mencari-cari tonjolan kecil di bagian atas vaginanya.”aahh… sss… aahh.. agak keatas Fi.. agak keatas.. iyaah.. Yang ituuu.. yang ituuu.. ouuuh…” Kembali tangan kanan Bi Laha memeluk leherku, sementara tangan kirinya semakin cepat mengocok penisku.
(“Oh Rafii, kocokanmu begitu nikmat di klitorisku. Auhh, dasar anak
nakal! Sempat-sempatnya kau sentil daging itu. Ooohh.. bagaimana
kocokanku sayang? Enak? Kalau mendengar erangan dan goyangan pinggulmu,
aku yakin kamu menyukainya. Dan lagi, tanganku sudah terasa basah oleh
cairan bening yang keluar dari lubang penismu. Ah, kenapa tiba-tiba aku
jadi amat menginginkan cairan manimu?”)
Putaran pinggul Bi Laha semakin liar mengikuti kocokanku pada
klitorisnya. Erangan dan desahannya sudah menjadi teriakan-teriakan
kecil. Ia sudah tak peduli kalau orang lain akan mendengar. Dengan satu
tangan yang masih bebas, kulepaskan celana dalam CK-ku sehingga Bi Laha
semakin bebas mengocok penisku. “Fi… kita berdua telanjang bulat Fi..
kita berdua, bibi dan keponakan, telanjang bulat di ruang tamu..”
Desahnya sambil memejamkan mata dan tersenyum manja. Lalu kuhentikan
kocokanku, dan kuletakkan ujung jari tengah dan telunjuk di pintu
vaginanya. Pelan-pelan kudesakkan kedua jariku ke dalam liang yang sudah
teramat basah itu.
“Eeehh…” Isteri pamanku itu mengerang lalu menggigit pundakku dengan gemas, kerika kuputar-putar jemariku seraya mendesakkannya lebih kedalam. Lalu mendadak kuhentikan gerak jemariku itu dan berkata,
“Bi.. bibi yakin mau melakukan ini?”
“Ohh ke.. kenapa kamu tanya itu yang..? sss…” tanyanya dengan pandangan sayu seraya mendesis dan menyorong-nyorongkan selangkangannya dengan harapan jemariku melesak semakin dalam.
“Emm, ingat omongan bibi sebelum ini? Bibi bilang ini kesalahan terbesar?”
“Kamu tahu maksud bibi mengatakan itu?” Aku menggeleng. Perlahan, senyum nakal mengembang di bibir perempuan itu. “Adalah kesalahan besar kalau bibi menolak penismu yang… aahh…” Kutusukkan kedua jariku sehingga melesak masuk ke dalam vagina basah itu sehingga pemiliknya menjerit walau belum habis berkata-kata. Mata Bi Laha membelalak, mulutnya menganga seakan sedang mengalami keterkejutan yang amat sangat. Rasakan! Senyumku dalam hati. Inilah upah berpura-pura. Bi Laha, Bi laha. Aku tahu bibi menginginkan ini sejak perjumpaan pertama. Aku tahu penolakan-penolakanmu itu tak sepenuh hati.
“Eeehh…” Isteri pamanku itu mengerang lalu menggigit pundakku dengan gemas, kerika kuputar-putar jemariku seraya mendesakkannya lebih kedalam. Lalu mendadak kuhentikan gerak jemariku itu dan berkata,
“Bi.. bibi yakin mau melakukan ini?”
“Ohh ke.. kenapa kamu tanya itu yang..? sss…” tanyanya dengan pandangan sayu seraya mendesis dan menyorong-nyorongkan selangkangannya dengan harapan jemariku melesak semakin dalam.
“Emm, ingat omongan bibi sebelum ini? Bibi bilang ini kesalahan terbesar?”
“Kamu tahu maksud bibi mengatakan itu?” Aku menggeleng. Perlahan, senyum nakal mengembang di bibir perempuan itu. “Adalah kesalahan besar kalau bibi menolak penismu yang… aahh…” Kutusukkan kedua jariku sehingga melesak masuk ke dalam vagina basah itu sehingga pemiliknya menjerit walau belum habis berkata-kata. Mata Bi Laha membelalak, mulutnya menganga seakan sedang mengalami keterkejutan yang amat sangat. Rasakan! Senyumku dalam hati. Inilah upah berpura-pura. Bi Laha, Bi laha. Aku tahu bibi menginginkan ini sejak perjumpaan pertama. Aku tahu penolakan-penolakanmu itu tak sepenuh hati.
(“Ouuuhh.. ini gilaa.. Ini gilaa..! vaginaku ditusuk oleh jari-jari
lelaki! Suatu perbuatan yang selama ini cuma ada di perbincangan ibu-ibu
arisan. Itupun diucapkan dengan nada heran bercampur tak percaya. Namun
sekarang aku mengalaminya! Dan aku tak merasa heran. Malah merasa
biasa. Yang ada cuma kegelian dan kegatalan yang semakin terasa
berputar-putar di vaginaku. Ohh, apakah aku akan orgasme? Secepat
itukah? Hmh, kalau saja suamiku tahu apa yang kualami hari ini. Ia akan
sadar bahwa apa yang diberikannya selama 15 tahun itu tak ada
apa-apanya!”)
Pelan-pelan kugerakkan jemariku keluar masuk vagina Bi Laha. Gerakan itu
semakin lama semakin cepat. Dan ruangan itu kembali dipenuhi oleh
jeritan-jeritan Bi Laha yang semakin menggila bercampur dengan kecipak
vaginanya yang sudah banjir tak keruan. Sambil terus menusuk-nusukkan
jemariku di selangkangannya, pelan-pelan kubaringkan tubuh isteri
pamanku itu di atas sofa. Bi Laha merebahkan tubuhnya seraya membuka
selangkangannya. Tusukan dan putaran jemari di vagina perempuan itu
semakin kupercepat. Pinggulnya kini bergerak naik turun seakan tengah
mengimbangi tusukan-tusukan penis lelaki. Aku mencium pangkal lengan
mulusnya yang membentang ke atas mencengkram pegangan sofa. Lalu bibirku
menelusuri lengan itu ke arah ketiaknya. Sambil mengecup dan sesekali
menggigit, bibirku akhirnya sampai pada ketiaknya yang disuburi oleh
rambut lebat. Harum ketiaknya membuat penisku semakin berdenyut di
tengah kocokan tangan Bi Laha. Lalu bibirku mengecup dan menarik-narik
rambut ketiaknya dengan buas, “Haahh.. haahh.. Fiii.. geliii…” Perempuan
itu mendadak menjerit liar. Ah, rupanya ketiak merupakan salah satu
‘titik lemah’ yang dapat memicu keliaran dan kebinalan birahinya.
Kriiing… telepon sialan! Kalau itu pamanku, ia benar-benar laki-laki yang menyebalkan! Makiku dalam hati.
Bi Laha menggeser pinggulnya berusaha meraih gagang telepon. Pinggulnya
terus bergerak-gerak mengisyaratkanku untuk terus mengocok dan menusuk
vaginanya dengan jariku.
“Haloo.. Haloo..” Bi Laha sama sekali tak berusaha menyembunyikan nafasnya yang tersengal-sengal. Gila, nekat sekali dia. “Haloo…” Ia mulai meninggikan suaranya. Setelah beberapa saat tak mendengar jawaban, Bi Laha menggeletakkan begitu saja gagang telepon di atas sofa.
“Siapa itu bi? Mang Iyus?”
“Tauk, nggak ada suaranya..” katanya seraya memeluk leherku dan mencium bibirku dengan kekangenan yang luar biasa.
“Fiii..” Desahnya manja, “Bibi mau.., masukin penismu sekarang dong… please…” Wah hebat. Bibiku ini sudah menggunakan terminologi Inggris! Please, katanya.
“Sabar sebentar ya bii..” ujarku tersenyum sambil mengeluarkan jemariku dari vaginanya. Lalu menggeser tubuh sintal Bi Laha sehingga terduduk bersandar di sofa. Kakinya menggelosor ke lantai dengan sedikit mengangkang.
“Mau diapain yang…?”
“Sshh.. nikmatin saja bi..” Aku mulai menciumi dan menyedot kedua buah dada montoknya. Lalu pelan-pelan bibirku mulai menyusuri perutnya yang semulus marmer itu ke arah selangkangan. Menyadari arah bibirku, perempuan itu mengepitkan kedua pahanya dan menahan kepalaku.
“Fi.. jangan Fi… jangan ke situ.. bibi Risih..”
“Hmm.. kenapa risih bi..? Kan penis dan tangan saya sudah pernah masuk ke vagina bibi?”
“Dasar bandel.., bibi risih.. soalnya kalau kamu cium disitu.. kamu akan lihat semuanya.. bibi.. bibi malu..”
“Haloo.. Haloo..” Bi Laha sama sekali tak berusaha menyembunyikan nafasnya yang tersengal-sengal. Gila, nekat sekali dia. “Haloo…” Ia mulai meninggikan suaranya. Setelah beberapa saat tak mendengar jawaban, Bi Laha menggeletakkan begitu saja gagang telepon di atas sofa.
“Siapa itu bi? Mang Iyus?”
“Tauk, nggak ada suaranya..” katanya seraya memeluk leherku dan mencium bibirku dengan kekangenan yang luar biasa.
“Fiii..” Desahnya manja, “Bibi mau.., masukin penismu sekarang dong… please…” Wah hebat. Bibiku ini sudah menggunakan terminologi Inggris! Please, katanya.
“Sabar sebentar ya bii..” ujarku tersenyum sambil mengeluarkan jemariku dari vaginanya. Lalu menggeser tubuh sintal Bi Laha sehingga terduduk bersandar di sofa. Kakinya menggelosor ke lantai dengan sedikit mengangkang.
“Mau diapain yang…?”
“Sshh.. nikmatin saja bi..” Aku mulai menciumi dan menyedot kedua buah dada montoknya. Lalu pelan-pelan bibirku mulai menyusuri perutnya yang semulus marmer itu ke arah selangkangan. Menyadari arah bibirku, perempuan itu mengepitkan kedua pahanya dan menahan kepalaku.
“Fi.. jangan Fi… jangan ke situ.. bibi Risih..”
“Hmm.. kenapa risih bi..? Kan penis dan tangan saya sudah pernah masuk ke vagina bibi?”
“Dasar bandel.., bibi risih.. soalnya kalau kamu cium disitu.. kamu akan lihat semuanya.. bibi.. bibi malu..”
{{Jantung Nuke nyaris terlompat dari dadanya mendengar percakapan yang
baru saja didengarnya. Ia masih memegang gagang telepon di rumahnya.
Baru saja ia memberanikan diri untuk menelepon isteri tua suaminya untuk
menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Sebagai isteri muda, ia merasa tak
nikmat menjadi penyebab pertengkaran suaminya dengan perempuan itu.
Namun, entah mengapa, ketika isteri pertama suaminya itu menjawab
teleponnya dengan nafas tersengal, Nuke merasa keberaniannya hilang. Ia
juga merasa ada sesuatu yang luar biasa tengah terjadi pada perempuan
itu. Dan Rafi, keponakan suaminya yang sedang berlibur itu, ternyata
sudah pernah menyetubuhi Laha. Juga, anak muda itu pernah memasukkan
jarinya ke dalam anu-nya Laha! Oh, haruskah ia menceritakan ini pada
suaminya? Pantaskah ia menguping perbuatan mereka? Pelan-pelan, Nuke
kembali mendekatkan gagang telepon itu ke telinganya. “Ngga apa-apa bi..
ngga usah malu.. vagina perempuan kan sama dimana-mana?” Terdengar
suara lelaki itu berusaha menenangkan Laha. Oh, akankah keponakan
suaminya itu berhasil mencium anu bibinya sendiri? Tanpa sadar, Nuke
menggigit bibir dengan perasaan tegang.”Fii! Please.. ganti kata-kata
penis dan vagina itu! Bibi risih mendengarnya..” Terdengar lelaki itu
tertawa. “Oke.. gimana kalau penis dan vagina? Sound better?” Lalu
terdengar suara orang berciuman. Nuke menelan ludah, dan menyilangkan
kedua pahanya. Lama tak terdengar suara apa-apa. Oh, apa yang sedang
mereka lakukan? Tiba-tiba Nuke terperanjat oleh jeritan Laha.
“Fiii.. jangaann.. pleaasee.. bibi maluuu..” Terdengar suaranya seperti orang hendak menangis. “aa Fii, jangan dipaksa dong… oh.. ooohh.. oohh…” Lalu yang ada di telinga Nuke adalah rintihan dan erangan Laha penuh kenikmatan. Gila pemuda itu. Kelihatannya ia berhasil mencium dan menjilat anu-nya Laha. Oh, seperti apakah rasanya? Pasti luar biasa, karena suara perempuan itu tak melawan lagi dan cuma melolong-lolong keenakan.
“Ooohh.. Fiii.. nikmat bangeeet… Yah.. yah.. iyaahh… sedot daging yang atas sayang.. yah itu.. itu.. aahh.. sedot terus Fiii… sedot terruuusss…” Nuke mulai menggesek-gesekkan kedua pahanya. Ada perasaan geli dan gatal mengalir ke selangkangannya. Tiba-tiba ia terperanjat ketika mendengar suara Mang Iyus tepat dibelakangnya.
“Gimana Nuk? Sudah bicara dengan Laha?” Nuke menutupi bulatan tempat bicara pada gagang telepon, takut suara suaminya terdengar oleh pasangan yang tengah asyik masyuk di ujung sana.
“mm belum, teleponnya masih bicara”, katanya berbohong. Tampak suaminya menghela nafas. Nuke merasa kasihan melihat wajah suaminya itu. Lelaki malang, ia tak tahu isteri pertamanya kini tengah asyik bergumul dengan keponakannya sendiri.
“Kalau begitu, ayo kita antar ibu ke dokter.””Emm, Kang Iyus saja deh yang nganter. Nuke mau coba telepon teh Laha dulu, nggak enak rasanya.” Suaminya hanya mengangkat bahu dan berlalu. Setelah mobil suaminya melesat keluar, Nuke buru-buru mengganti kebayanya dengan daster, tanpa beha, tanpa celana dalam. Lalu dengan segera meletakkan gagang telepon itu kembali di telinganya.}}
“Fiii.. jangaann.. pleaasee.. bibi maluuu..” Terdengar suaranya seperti orang hendak menangis. “aa Fii, jangan dipaksa dong… oh.. ooohh.. oohh…” Lalu yang ada di telinga Nuke adalah rintihan dan erangan Laha penuh kenikmatan. Gila pemuda itu. Kelihatannya ia berhasil mencium dan menjilat anu-nya Laha. Oh, seperti apakah rasanya? Pasti luar biasa, karena suara perempuan itu tak melawan lagi dan cuma melolong-lolong keenakan.
“Ooohh.. Fiii.. nikmat bangeeet… Yah.. yah.. iyaahh… sedot daging yang atas sayang.. yah itu.. itu.. aahh.. sedot terus Fiii… sedot terruuusss…” Nuke mulai menggesek-gesekkan kedua pahanya. Ada perasaan geli dan gatal mengalir ke selangkangannya. Tiba-tiba ia terperanjat ketika mendengar suara Mang Iyus tepat dibelakangnya.
“Gimana Nuk? Sudah bicara dengan Laha?” Nuke menutupi bulatan tempat bicara pada gagang telepon, takut suara suaminya terdengar oleh pasangan yang tengah asyik masyuk di ujung sana.
“mm belum, teleponnya masih bicara”, katanya berbohong. Tampak suaminya menghela nafas. Nuke merasa kasihan melihat wajah suaminya itu. Lelaki malang, ia tak tahu isteri pertamanya kini tengah asyik bergumul dengan keponakannya sendiri.
“Kalau begitu, ayo kita antar ibu ke dokter.””Emm, Kang Iyus saja deh yang nganter. Nuke mau coba telepon teh Laha dulu, nggak enak rasanya.” Suaminya hanya mengangkat bahu dan berlalu. Setelah mobil suaminya melesat keluar, Nuke buru-buru mengganti kebayanya dengan daster, tanpa beha, tanpa celana dalam. Lalu dengan segera meletakkan gagang telepon itu kembali di telinganya.}}
Bi Laha mengangkat kedua paha dan menyandarkannya di pundakku. Lidahku
dengan rakus menjilat daging merah yang terletak di antara dua bibir
vaginanya. Kedua bibir itu sudah terbuka lebar dikuak oleh kedua
tanganku. Rasa asin dilidahku makin merangsang birahiku. Sesekali aku
memasukkan lidahku ke dalam lubang vagina itu dikombinasikan dengan
sedotan-sedotanku pada vagina Bi Laha. Perempuan itu menghentakkan
pinggulnya sambil menjilati bibirnya sendiri. Tangannya menekan kepalaku
dengan keras di selangkangannya.
{{Erangan dan rintihan Laha, membuat selangkangan Nuke semakin dipenuhi
oleh rasa geli dan gatal. Brengsek. Kenapa aku jadi penasaran dengan
permainan mereka? Bagaimana akhirnya? Hmm seperti apakah lelaki bernama
Rafi itu?
“Ohh Fii.. lidah kamu seperti penis.. nikmat banget keluar-masuk seperti itu.. bibi rasanya sudah nggak tahan.. tolong masukin penis raksasamu sekarang dong Fiii.. please…” Penis raksasa? Gila juga isteri tua suamiku itu, kata Nuke dalam hati. Kok dia nggak malu minta-minta dimasukin seperti itu ya? Sial, aku malah jadi penasaran. Seperti apa sih si Rafi itu? Dan, mm, sebesar apa sih penisnya?
“Fii.. ayo dong.. bibi hampir keluar nihh.. hentikan sedotanmu sayang.. ayoo..” Huh, nafsu perempuan itu ternyata besar juga. Pantas dia tak tahan oleh godaan keponakannya sendiri. Apalagi anu-suaminya sedang ada masalah. Oh, tak terasa sudah hampir 6 bulan saat terakhir aku merasakan sentuhan Kang Iyus. Tiba-tiba perempuan itu merasa iri pada Laha. Bagaimanapun, isteri tua suaminya itu berani mengambil keputusan! Nuke mengakui. Tiba-tiba terdengar suara gemerisik di sambungan telepon itu. “Aduh, telepon sialan, ngganggu saja!” Terdengar makian Laha begitu jelas di telepon. Oh, rupanya perempuan itu kini terbaring dan kepalanya menindih gagang telepon yang masih tergeletak di sofa. Nuke berharap cemas semoga telepon itu tidak diputus. Lalu terdengar suara kecupan dan erangan. Oh mereka mulai lagi berciuman dengan bernafsu. Syukur mereka tetap tak peduli dengan teleponnya. Aku bisa membayangkan seorang pemuda tengah merayap di atas tubuh Laha, lalu perempuan itu membuka lebar-lebar pahanya, lalu lelaki itu menempelkan penisnya di pintu vagina isteri tua suamiku itu, lalu mendorong pelan-pelan pinggulnya. ” Yah Fii.. Yah… pelan-pelan Fii.. ouhh besarnyaa..” Laha mulai merintih-rintih. Nuke menggesek-gesekkan pahanya. Berkali-kali ia menelan ludah. Jantungnya berdegup cepat. Oh, lelaki itu mulai memasukkan penisnya ke dalam vagina Laha! Tangan isteri muda itu menyelip ke dalam selangkangannya. Ada kelembaban yang hangat terasa di sana.
“Uhh.. Fii stop dulu sayang.. ssakiiit… hh.. hh.. hh..” Nuke sempat bergidik mendengar rintihan Laha. Seberapa besar punya-mu Rafi? Oh, kenapa aku jadi tak sabar ingin bertemu dengan pemuda itu? Nuke, jangan gila! Kau kan tidak berharap pemuda itu melakukan apa yang diperbuatnya pada Laha kepadamu? Nuke tidak tahu jawabnya. Andaikan ia tahu pun ia tak mau menjawabnya. Suara nafas Laha jelas sekali di telepon. Kentara sekali ia tengah menenangkan dirinya menahan sakit dan nikmat karena dimasuki penis keponakannya yang besar itu.
“Yang.. bibi sudah siap.. ayo.. masukkan semuanya.. yahh.. iyyaahh..” Oh, gila, gila.. penis besar itu pasti sudah masuk semua! Oh, terbayang nikmatnya. Terbayang rasa kesemutan dan pegal itu. Nuke teringat kala pertama kali suaminya merenggut keperawanannya. sss.. Ohh.. Isteri muda itu mulai menekan-nekan vaginanya dari luar daster. Lalu mulailah terdengar suara kecupan, suara erangan pasangan kasmaran itu yang seirama dengan bunyi sofa berderit-derit.
“Ohh Fii.. lidah kamu seperti penis.. nikmat banget keluar-masuk seperti itu.. bibi rasanya sudah nggak tahan.. tolong masukin penis raksasamu sekarang dong Fiii.. please…” Penis raksasa? Gila juga isteri tua suamiku itu, kata Nuke dalam hati. Kok dia nggak malu minta-minta dimasukin seperti itu ya? Sial, aku malah jadi penasaran. Seperti apa sih si Rafi itu? Dan, mm, sebesar apa sih penisnya?
“Fii.. ayo dong.. bibi hampir keluar nihh.. hentikan sedotanmu sayang.. ayoo..” Huh, nafsu perempuan itu ternyata besar juga. Pantas dia tak tahan oleh godaan keponakannya sendiri. Apalagi anu-suaminya sedang ada masalah. Oh, tak terasa sudah hampir 6 bulan saat terakhir aku merasakan sentuhan Kang Iyus. Tiba-tiba perempuan itu merasa iri pada Laha. Bagaimanapun, isteri tua suaminya itu berani mengambil keputusan! Nuke mengakui. Tiba-tiba terdengar suara gemerisik di sambungan telepon itu. “Aduh, telepon sialan, ngganggu saja!” Terdengar makian Laha begitu jelas di telepon. Oh, rupanya perempuan itu kini terbaring dan kepalanya menindih gagang telepon yang masih tergeletak di sofa. Nuke berharap cemas semoga telepon itu tidak diputus. Lalu terdengar suara kecupan dan erangan. Oh mereka mulai lagi berciuman dengan bernafsu. Syukur mereka tetap tak peduli dengan teleponnya. Aku bisa membayangkan seorang pemuda tengah merayap di atas tubuh Laha, lalu perempuan itu membuka lebar-lebar pahanya, lalu lelaki itu menempelkan penisnya di pintu vagina isteri tua suamiku itu, lalu mendorong pelan-pelan pinggulnya. ” Yah Fii.. Yah… pelan-pelan Fii.. ouhh besarnyaa..” Laha mulai merintih-rintih. Nuke menggesek-gesekkan pahanya. Berkali-kali ia menelan ludah. Jantungnya berdegup cepat. Oh, lelaki itu mulai memasukkan penisnya ke dalam vagina Laha! Tangan isteri muda itu menyelip ke dalam selangkangannya. Ada kelembaban yang hangat terasa di sana.
“Uhh.. Fii stop dulu sayang.. ssakiiit… hh.. hh.. hh..” Nuke sempat bergidik mendengar rintihan Laha. Seberapa besar punya-mu Rafi? Oh, kenapa aku jadi tak sabar ingin bertemu dengan pemuda itu? Nuke, jangan gila! Kau kan tidak berharap pemuda itu melakukan apa yang diperbuatnya pada Laha kepadamu? Nuke tidak tahu jawabnya. Andaikan ia tahu pun ia tak mau menjawabnya. Suara nafas Laha jelas sekali di telepon. Kentara sekali ia tengah menenangkan dirinya menahan sakit dan nikmat karena dimasuki penis keponakannya yang besar itu.
“Yang.. bibi sudah siap.. ayo.. masukkan semuanya.. yahh.. iyyaahh..” Oh, gila, gila.. penis besar itu pasti sudah masuk semua! Oh, terbayang nikmatnya. Terbayang rasa kesemutan dan pegal itu. Nuke teringat kala pertama kali suaminya merenggut keperawanannya. sss.. Ohh.. Isteri muda itu mulai menekan-nekan vaginanya dari luar daster. Lalu mulailah terdengar suara kecupan, suara erangan pasangan kasmaran itu yang seirama dengan bunyi sofa berderit-derit.
” Ahh.. terus Fi.. teruuus.. lebih cepat.. Lebih cepaat..” Jerit Laha.
Dan suara derit pun terdengar lebih cepat. Oh, bisa kubayangkan pinggul
lelaki itu naik-turun dengan cepat. Juga bisa kubayangkan suara vagina
Laha berkecipak dihunjam dengan keras oleh benda besar milik keponakan
suamiku itu.
“Yahh.. sedot yang keras Fi.. sedot yang keraas.. gigit puting bibi sayang.. gigit puting bibiii.” Oh, tiba-tiba Nuke mengeluh, bisakah aku seberuntung perempuan itu?}}
“Yahh.. sedot yang keras Fi.. sedot yang keraas.. gigit puting bibi sayang.. gigit puting bibiii.” Oh, tiba-tiba Nuke mengeluh, bisakah aku seberuntung perempuan itu?}}
Leherku terasa hampir patah dipeluk oleh Bi Laha. Ia memintaku untuk
menyedot buah dadanya sekuatku, menjilat putingnya secepatku, dan
memompakan pinggulku sekerasnya. Tak kalah dengan tangannya, kedua
kakinya merangkul erat pinggangku. Hentakan pinggulku membuat buah dada
isteri pamanku itu berguncang-guncang keras. Mulutnya yang seksi terus
menganga menghamburkan jeritan-jeritan birahi. Kaki indahnya yang masih
mengenakan sepatu hak tinggi hitam itu, kini terangkat di udara seakan
menyambut tusukan-tusukan penisku. Keringat sudah membasahi seluruh
tubuh membuat kulit kami terlihat mengkilat dan licin bila digesekkan
satu sama lain. Otot tubuh Bi Laha tiba-tiba menegang. Oh, apakah ia
akan mencapai puncaknya? Padahal aku belum apa-apa. Aku masih ingin
lebih lama menikmati pergumulan ini.
{{Nafas Nuke mulai memburu. Jantungnya berpacu dengan gesekan tangan di
selangkangannya. aah, permainan panas Laha dengan anak muda itu
benar-benar membuat vaginaku becek gila-gilaan. Beruntung rumah ini
kosong, pikir perempuan berusia 20 tahun itu seraya menyingsingkan
dasternya sehingga vagina polos tak berbulu itu langsung menyentuh
bantalan kursi. Sejak remaja ia telah mencukur habis bulu kemaluannya.
Terasa lebih bersih, demikian alasannya. Lalu dengan cepat
ditempelkannya jari tengah pada tonjolan daging di ujung atas bibir
vaginanya. Kini, jantung Nuke berpacu dengan kocokan jari di
klitorisnya. Ia mendesah, mendesis, seraya memegang gagang telepon itu
dengan kuping dan pundaknya. Tangannya yang satu tengah membuka kancing
dasternya dan menyelinap cepat mencari buah dada berukuran 34 itu. Ohh,
nikmatnya sentuhan-sentuhan di buah dada, puting dan vaginaku. Pasti
lebih nikmat lagi kalau tangan keponakan suamiku itu yang melakukannya.
Ahh, sss, pemuda brengsek. Kenapa kau tidak menginap disini?”Fii..
kamu.. hh.. sudah mau keluar… hh.. sayang..?” Suara Laha terdengar serak
dan terputus-putus. Nuke mempercepat putaran dan pelintiran di
klitorisnya. Mulutnya menganga, rintihannya mulai terdengar keras.
Tiba-tiba ia merasa seakan-akan vaginanya dipenuhi oleh penis keponakan
suaminya itu, yang memompa dengan keras. aahh. “Belum Fii..? Kamu belum
mau keluar? Ooohh bibi sudah nggak tahan sayang.. bibi mau keluar..
nggak apa-apa ya bibi duluan..” Nuke mempercepat putarannya. Tangan
satunya kini memilin dan menarik-narik putingnya dengan keras. Ia seakan
bisa merasakan pompaan penis pemuda itu pada vagina Laha semakin cepat
dan semakin cepat.. dinding vaginanya mulai berdenyut cepat, nafasnya
semakin cepat.}}
Pinggulku menghentak semakin cepat dan cepat. Tubuh Bi Laha terguncang kesana kemari, dan gelinjangnya tampak sudah tak karuan. Tiba-tiba pahanya menjepit keras, dan pinggulnya yang sedari tadi berputar-putar liar itu diangkat tinggi-tinggi dan.., “Oooh… bibi keluar.. bibi keluaarrr… nggg…” Terdengar suara Bi Laha merengek panjang. Tangannya menjambak rambutku dan serta mencakar pundakku. Matanya membelalak dan mulutnya meringis. Otot wajahnya tegang seperti orang yang tengah melahirkan. Ketika itu juga penisku terasa hangat disemprot oleh cairan orgasme Bi Laha. Dan dinding vaginanya seperti menyempit meremas-remas penisku.
Pinggulku menghentak semakin cepat dan cepat. Tubuh Bi Laha terguncang kesana kemari, dan gelinjangnya tampak sudah tak karuan. Tiba-tiba pahanya menjepit keras, dan pinggulnya yang sedari tadi berputar-putar liar itu diangkat tinggi-tinggi dan.., “Oooh… bibi keluar.. bibi keluaarrr… nggg…” Terdengar suara Bi Laha merengek panjang. Tangannya menjambak rambutku dan serta mencakar pundakku. Matanya membelalak dan mulutnya meringis. Otot wajahnya tegang seperti orang yang tengah melahirkan. Ketika itu juga penisku terasa hangat disemprot oleh cairan orgasme Bi Laha. Dan dinding vaginanya seperti menyempit meremas-remas penisku.
{{aahh, Rafiii… aahh aku.. aku juga keluaarrr… Nuke menghempaskan tubuhnya ke tembok. Gagang teleponnya terjatuh ke lantai.}}
Suara apa itu? Seperti keluar dari gagang telepon yang tergeletak di
sisi kepala Bi Laha yang kini terbaring lemas, seperti orang yang
kehilangan tulang-belulang. Ah, mungkin cuma imajinasiku saja. Aku
menghentikan aktifitasku, dan menikmati keindahan wajah isteri pamanku
yang sedang mengalami orgasmenya. Pipi ranum perempuan itu kini tampak
memerah, buah dadanya mulai naik turun dengan irama teratur. Pelan-pelan
wajah cantik itu membuka matanya, lalu dengan lembut ia mencium
keningku dan dengan penuh kasih sayang memelukku erat.
“Terima kasih sayang, terima kasih.” Bi Laha memandangku dengan mata berbinar. “Kamu sudah menghilangkan dahaga bibi selama ini..” “Sama-sama bi…, bibi juga merupakan perempuan diatas 30 yang tercantik dan terseksi yang pernah saya lihat. Ini kali pertama saya tidur dengan wanita seusia bibi. Dan…” Aku mencium bibirnya lembut. “Tingkah dan tubuh bibi nggak beda dengan perawan.” Perempuan itu tergelak, lalu mencubit pinggangku. “Dasar perayu, ayo kasih bibi satu menit untuk membersihkan diri, lalu giliran kamu bibi puaskan.” Ia mencabut penisku yang masih tegang dari vaginanya, lalu membimbingku ke kamar mandi. “Punyamu itu benar-benar mengerikan lho Fi..” Komentarnya ketika menyiramkan air dingin di tubuh kami berdua.
“Terima kasih sayang, terima kasih.” Bi Laha memandangku dengan mata berbinar. “Kamu sudah menghilangkan dahaga bibi selama ini..” “Sama-sama bi…, bibi juga merupakan perempuan diatas 30 yang tercantik dan terseksi yang pernah saya lihat. Ini kali pertama saya tidur dengan wanita seusia bibi. Dan…” Aku mencium bibirnya lembut. “Tingkah dan tubuh bibi nggak beda dengan perawan.” Perempuan itu tergelak, lalu mencubit pinggangku. “Dasar perayu, ayo kasih bibi satu menit untuk membersihkan diri, lalu giliran kamu bibi puaskan.” Ia mencabut penisku yang masih tegang dari vaginanya, lalu membimbingku ke kamar mandi. “Punyamu itu benar-benar mengerikan lho Fi..” Komentarnya ketika menyiramkan air dingin di tubuh kami berdua.
Air dingin itu mendadak seakan memberi tenaga baru bagi kita berdua.
Kesegarannya terasa mengalir dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Setelah mengeringkan tubuh, perempuan itu menarik tubuhku ke dalam
pelukannya. Penisku yang sempat layu, kembali menegang menempel di perut
mulusnya. “Hmm..” Ia bergumam kagum. “Si besar-mu itu sudah siap
rupanya?” Aku mengangguk. “Kamu mau main di mana Fi? Di kamar bibi..?”
Aku menggeleng “Ngga bi.., ini kamar Mang Iyus, saya nggak mau, bau
kamar ini mengingatkan saya kalau bibi isteri paman saya dan itu membuat
saya cemburu..” Bi Laha tersenyum bahagia mendengar kata-kataku itu,
mukanya berbinar-binar persis seperti remaja yang sedang kasmaran. Ia
pun mulai menggesek-gesekkan perutnya ke penisku membuat cairan bening
itu keluar lagi membasahi pusar. “Kalau begitu kita main di sofa lagi
ya..?” Tanpa menunggu jawaban, ia membimbingku menuju sofa. Gagang
telepon itu masih tergeletak di sana. Sambil duduk, aku meraih gagang
itu untuk kuletakkan kembali di tempatnya, namun Bi Laha mencegah.
“Jangan. Biarkan disitu. Bibi ngga mau diganggu oleh telepon dari
pamanmu. Malam ini, kamulah suami bibi dan seorang isteri yang baik akan
melakukan apa saja untuk menyenangkan suaminya… ya nggak yang..?”
{{Benar firasatku. Mereka akan memulai lagi permainan panasnya! Tapi tak
kusangka Laha sedemikian marahnya pada suamiku, ehm, suami kami.
Seperti kemarahan yang terakumulasi lalu meletus dengan dahsyatnya. Oh
kedengarannya mereka sudah mulai. Laha mulai mengerang dan merintih, wah
sedang diapakan dia?? Hmh.. betapa beruntungnya kau Laha.. Semoga aku
sempat mencicipi pemuda itu sebelum pulang ke Bandung!! Nuke melihat jam
di dinding, sudah 20 menit sejak suaminya pergi ke dokter. Ahh,
mudah-mudahan antreannya panjang. Lampu di kamar tengah itu padam. Nuke
terbaring di atas kasur busa sambil menempelkan gagang telepon erat-erat
di kupingnya. Tubuhnya telanjang bulat.}}
Sehabis menggosok-gosokkan jemariku di lipatan vaginanya, dengan gemas
kuraih tubuh telanjang isteri pamanku itu dan kududukkan di pangkuanku
dengan posisi saling berhadapan. Kakinya yang mulus itu mengangkang
sehingga bagian bawah penisku menempel tepat di belahan vaginanya.
Dadanya yang busung tepat berada di depan mulutku. Dengan segera
kubenamkan mulutku di belahan buah dadanya. “Emm.. “, Bi Laha
menggelinjang genit “Kamu suka sekali sama susu Bibi ya..?” Sambil mulai
menyedot putingnya aku mengangguk. Bi Laha mulai bergumam seperti orang
terserang demam sambil memeluk leherku. Pantatnya digerakkannya maju
mundur sehingga vaginanya menggesek-gesek batang penisku. Tak sampai 3
menit bergumul, Bi Laha sudah terangsang kembali. Kasihan Bibiku ini.
Begitu lamanya ia menahan dahaga sehingga akibatnya, cepat sekali
perempuan itu terangsang. “Ooohh Fiii.. bibi ngga tahan… ” Tiba-tiba
dengan cepat tangannya menangkap penisku, ia mengangkat pantatnya
sedikit lalu menyelipkan kepala penisku di bibir vaginanya. Pelan-pelan,
ia menurunkan pantatnya sehingga batang besar itu melesak ke dalam
vaginanya yang, my god, sudah basah itu. “Aah.. sss… aahh..” Bi Laha
mulai mendesis-desis merasakan kenikmatan di dinding vaginanya. Hmm,
agak terlalu cepat prosesnya, pikirku. Lalu kuhentikan gerak pantat
perempuan itu sehingga penis yang baru masuk seperempatnya itu tertahan
di dalam. “Ohh… kok ditahan ‘yang..?” Bi Laha bertanya dengan nada
kecewa. “Nggak, saya ingin cara lain bi.. bibi ngga keberatan kan..?”.
Tiba-tiba perempuan itu tersenyum malu dan melepaskan penisku dari
jepitan vaginanya. Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas tubuhku sambil
memelukku mesra. “Maaf ‘yang, bibi lupa sasma kamu. Bibi memang egois.
Bibi cuma memikirkan bagaimana untuk secepatnya orgasme lagi.. Maklum,
anak perawan..” Kami berdua tergelak. Bi Laha, Bi Laha.. sayang kau
isteri orang.
“Oke, kamu mau bibi ngapain supaya puas…”
“Coba bibi berlutut di depan saya..” Bi Laha tersenyum dan berlutut tepat diantara dua pahaku. Penisku kini tepat berada di dadanya yang montok.
“Terus.. ngapain..?” Katanya polos.
“Tutup mata bibi dan buka mulut.. saya ingin mencium bibir bibi sambil berlutut..”
“Uuuhh.. macem-macem.. ” Ujarnya manja, sambil menutup mata dan membuka mulutnya.
“Mulutnya kurang lebar bi.. saya ingin menjilat lidah bibi..”
“Oke, kamu mau bibi ngapain supaya puas…”
“Coba bibi berlutut di depan saya..” Bi Laha tersenyum dan berlutut tepat diantara dua pahaku. Penisku kini tepat berada di dadanya yang montok.
“Terus.. ngapain..?” Katanya polos.
“Tutup mata bibi dan buka mulut.. saya ingin mencium bibir bibi sambil berlutut..”
“Uuuhh.. macem-macem.. ” Ujarnya manja, sambil menutup mata dan membuka mulutnya.
“Mulutnya kurang lebar bi.. saya ingin menjilat lidah bibi..”
{{Apa yang kau inginkan Rafi..? Jangan-jangan ia ingin agar Laha
memasukkan…}}”mm! mm!” Bi Laha menjerit-jerit kaget ketika kumasukkan
penisku ke dalam mulutnya. Ia terbelalak melihat batang besar itu
bergerak keluar masuk rongga mulutnya. Tampak ia agak jijik dan risih
sehingga beberapa kali tampak hendak meludahkan penis itu keluar. Namun,
tanganku dengan kokoh menahan kepalanya untuk memaksa mencicipinya.
“Maaf bi, saya paling suka kalau penis saya dikulum. Saya takut kalau minta, bibi malah nggak mau. Nah, terpaksa saya agak maksa. Tapi rasanya nikmat kan?”
“Mmmm…!” Bi Laha menggumam keras sambil memperlihatkan ekspresi berpura-pura marah. Tapi, ia mulai menggerakkan kepalanya naik-turun tanpa paksaan. Nafasnya juga ikut memburu. Rupanya dengan mengulum penisku ia semakin terangsang birahinya.
“Yaahh.. begitu Bi.. tapi giginya jangan kena batang saya dong Bi.. sakiit.. Naahh begitu.. aouhh.. aahh..”
“Maaf bi, saya paling suka kalau penis saya dikulum. Saya takut kalau minta, bibi malah nggak mau. Nah, terpaksa saya agak maksa. Tapi rasanya nikmat kan?”
“Mmmm…!” Bi Laha menggumam keras sambil memperlihatkan ekspresi berpura-pura marah. Tapi, ia mulai menggerakkan kepalanya naik-turun tanpa paksaan. Nafasnya juga ikut memburu. Rupanya dengan mengulum penisku ia semakin terangsang birahinya.
“Yaahh.. begitu Bi.. tapi giginya jangan kena batang saya dong Bi.. sakiit.. Naahh begitu.. aouhh.. aahh..”
{{Nuke memasukkan jari telunjuknya ke dalam mulut, lalu mengulumnya. Oh
Rafiii, kau benar laki-laki penuh fantasi. Benar dugaanku, kau memang
menginginkan penismu dikulum dan dihisap. Oooh nasib, kenapa Bi Laha
selalu yang ditakdirkan untuk mendapat sesuatu pertama kali? Perempuan
itu kemudian meremas buah dadanya dengan keras. Telunjuknya serasa
berubah menjadi penis besar milik keponakan suaminya itu, walaupun ia
tak pernah melihat bentuk aslinya. Tiba-tiba ia merasa batinnya seakan
mengucapkan sumpah, “Aku harus mendapatkan pemuda itu, apapun
resikonya!”}}
“Bii.. sekarang sambil masuk keluar, lidah bibi digoyang dong.. supaya
kena urat sebelah bawah yang deket kepala.. yaahh.. yaah.. gituuu..
addouww.. Bii.. ennakk.. aahh..” Aku mulai menggelinjang-gelinjang.
Tubuhku kini bersandar dengan santai di sofa dan hanya pinggulku yang
bergoyang-goyang mengikuti irama keluar-masuk mulut isteri pamanku itu.
Bi Laha memang orang yang cepat belajar. Terbukti tanpa petunjuk, ia
mulai mengembangkan sendiri teknik-teknik oral seks. Seperti yang sedang
ia lakukan saat ini, Bi Laha tengah menyedot sambil sesekali menggigit
urat sensitif di bawah kepala penisku. Lalu, ia juga mengecup dan
mencubit-cubit dengan bibirku batang penisku dari arah kepala sampai
kedua bola di pangkalnya. Dan yang gila, ia kini bisa mengkombinasikan
antara kuluman dan kocokan tangan. Penisku digenggamnya di bagian atas
lalu diturunkannya ke pangkal batang. Ketika bagian kepala penisku
keluar dari ujung genggamannya, mulutnya langsung menyambut untuk
dikulum. Demikian seterusnya. Aku hanya bisa berkata “Biii.. bibiii…
ennnaakkk.. aahh..” seraya membelai-belai punggungnya yang putih mulus
itu. Kadang-kadang belaianku itu mendekati belahan pantatnya, yang
sesekali kuremas gemas.
{{Hebat kau Laha, aku iri padamu. Kau bisa membuat pemuda itu mengerang
keenakan dengan sedotan dan hisapanmu. Itu berarti, kau ahli memuaskan
lelaki.}}
Aku mencabut penisku dari mulutnya lalu mengecup bibirnya mesra. “Terima
kasih Bi…, Bibi memang baik sekali…” “Tapi, kamu kan belum keluar
‘yang..?” “Hehe.. nanti juga keluar sendiri.. bi.. pinjam susunya
dong..” Aku meletakkan penis besarku di belahan buah dada bibiku yang
montok itu. Seakan sudah berpengalaman, perempuan itu menjepit penisku
dengan buah dada kiri kanannya, lalu pelan-pelan mulai bergerak naik
turun. “Oaah… Oaahh.. Biii.. Bibiii jepitan susunya nikmat bangeeett..
penis saya rasanya diremes-remes.. aahh…”.
{{Nuke mengangkat kedua pahanya sehingga dengkulnya nyaris menyentuh
buah dadanya, lalu ia memasukkan jari tengahnya ke dalam liang
vaginanya. aahh, aku tak tahan lagi mendengar permainan mereka. Aku
ingin cepat-cepat orgasme lagi. Dan perempuan itu mulai memutar-mutarkan
jarinya di liang lembab itu. Rafi, Laha, kalian memang gila. Belum
pernah aku mendengar kisah persetubuhan sepanas kalian. Apalagi yang
sedang kalian lakukan sekarang. Menjepit penis dengan kedua buah dada?
Lalu, si lelaki menggerakkan penisnya maju mundur? Ohh benar-benar
sensasional! Tiba-tiba didengarnya suara pemuda itu berkata, “Bii.. saya
ngga tahan lagi.. bibi benar-benar merangsang birahi saya.. Coba
sekarang bibi berdiri menungging. Pegang dudukan sofa ini..”
“Begini Fi..?”
“Yak… betul. Kakinya dibuka agak lebar.. yak. Fuuuhh.. Pantat bibi seksi sekaliii..” Terdengar suara pemuda itu seperti memuja sesuatu. “Kalau bibi goyang seperti ini, kamu suka?” Laha mulai menggoda dengan nada senang. Tentu saja senang. Siapa yang tak senang dipuji? Tanpa sadar Nuke berkata ketus dalam hati.
“‘Yang.. kamu mau masukin dari belakang?”
“Yak.. ini satu lagi kesukaan saya.. bibi pernah melakukannya?”
“Boro-borooo..” Nuke tersenyum masam mendengar jawaban Laha. Perempuan itu benar. Kang Iyus adalah lelaki tanpa fantasi. Baginya seks adalah suatu kewajiban. Bukan alat untuk mencapai kenikmatan. Nuke pun mulai bisa mengerti mengapa isteri tua suaminya itu nekad berselingkuh dengan keponakannya sendiri. Tiba-tiba terdengat suara Laha merintih-rintih. “Sakit bi…?” Oh, pemuda itu mulai memasukkan penisnya dari belakang! Ow, pasti nikmat sekali..!}}
“Begini Fi..?”
“Yak… betul. Kakinya dibuka agak lebar.. yak. Fuuuhh.. Pantat bibi seksi sekaliii..” Terdengar suara pemuda itu seperti memuja sesuatu. “Kalau bibi goyang seperti ini, kamu suka?” Laha mulai menggoda dengan nada senang. Tentu saja senang. Siapa yang tak senang dipuji? Tanpa sadar Nuke berkata ketus dalam hati.
“‘Yang.. kamu mau masukin dari belakang?”
“Yak.. ini satu lagi kesukaan saya.. bibi pernah melakukannya?”
“Boro-borooo..” Nuke tersenyum masam mendengar jawaban Laha. Perempuan itu benar. Kang Iyus adalah lelaki tanpa fantasi. Baginya seks adalah suatu kewajiban. Bukan alat untuk mencapai kenikmatan. Nuke pun mulai bisa mengerti mengapa isteri tua suaminya itu nekad berselingkuh dengan keponakannya sendiri. Tiba-tiba terdengat suara Laha merintih-rintih. “Sakit bi…?” Oh, pemuda itu mulai memasukkan penisnya dari belakang! Ow, pasti nikmat sekali..!}}
“Sedikit.. sss… pelan-pelan ya yang..?” Bi Laha mencengkeram kain
dudukan sofa itu seraya menggigit bibir. Rupanya ia merasa sakit
menerima peneterasi dari arah belakang untuk pertama kalinya. Baru
separuh penisku memasuki vaginanya. Aku membelai pantat yang sedang
menungging itu, terus ke arah punggung, lalu ke bawah menyambut buah
dadanya yang bergelantungan. Kepalanya menengok kebelakang ingin melihat
bagaimana penis besarku memasuki vaginanya.
“Coba dorong lagi Fi.. sedikit-sedikit ya..?” Aku mengangguk dan mendesakkan penisku semakin dalam. “Yaahh.. iyyyaahh.. RAFiii… auh.. panjang sekali punyamu yang…” Perempuan itu menjerit ketika seluruh penisku amblas tertanam dalam vaginanya yang becek itu. Lalu mulailah aku menikmati posisi kesukaanku itu. Kuhentakkan keras-keras pinggulku ke pantat Bi Laha. Setiap hentakan menyebabkan pantatnya bergetar dan buah dadanya berayun keras. Setiap hentakan itu juga menyebabkan mulut seksi perempuan berusia 30-an itu menjerit dan meringis. Lalu tempelkan perut dan dadaku di punggung mulusnya. Tangan kananku mulai meremas-remas kedua buah dadanya serta memilin putingnya, sedang tangan kiriku mengocok tonjolan daging di pangkal vagina yang dipenuhi oleh bulu-bulu keriting itu. “aahh.. aahh.. nikmat sekali yang… posisi ini ennnaakk…” Hampir 5 menit kami bergumul dalam posisi menungging. Tiba-tiba kurasakan desiran itu bergerak cepat dari ujung kepala, turun ke dada, melewati perut, dan terus ke selangkangan… Otot-ototku mulai menegang.
“Biii.. bibi… Saya mau keluar biii..”
“Ya sayang.. ayo sayang.. bibi juga mau keluar.. bibi juga mauuu..”
“Coba dorong lagi Fi.. sedikit-sedikit ya..?” Aku mengangguk dan mendesakkan penisku semakin dalam. “Yaahh.. iyyyaahh.. RAFiii… auh.. panjang sekali punyamu yang…” Perempuan itu menjerit ketika seluruh penisku amblas tertanam dalam vaginanya yang becek itu. Lalu mulailah aku menikmati posisi kesukaanku itu. Kuhentakkan keras-keras pinggulku ke pantat Bi Laha. Setiap hentakan menyebabkan pantatnya bergetar dan buah dadanya berayun keras. Setiap hentakan itu juga menyebabkan mulut seksi perempuan berusia 30-an itu menjerit dan meringis. Lalu tempelkan perut dan dadaku di punggung mulusnya. Tangan kananku mulai meremas-remas kedua buah dadanya serta memilin putingnya, sedang tangan kiriku mengocok tonjolan daging di pangkal vagina yang dipenuhi oleh bulu-bulu keriting itu. “aahh.. aahh.. nikmat sekali yang… posisi ini ennnaakk…” Hampir 5 menit kami bergumul dalam posisi menungging. Tiba-tiba kurasakan desiran itu bergerak cepat dari ujung kepala, turun ke dada, melewati perut, dan terus ke selangkangan… Otot-ototku mulai menegang.
“Biii.. bibi… Saya mau keluar biii..”
“Ya sayang.. ayo sayang.. bibi juga mau keluar.. bibi juga mauuu..”
{{Ooohh Rafiii, aku jugaa… Nuke mempercepat tusukan jari tengah di
vaginanya. Terdengar suara mobil suaminya memasuki halaman. Nuke tak
peduli.}}
Aku mendekatkan kepalaku ke kepalanya, Bi Laha menengok dan menyambut
ciumanku dari belakang. Kami saling memagut sambil terus merasakan
gesekan-gesekan di kelamin kami yang semakin cepat, kocokanku di
klitorisnya yang semakin liar, remasanku di buah dadanya yang semakin
keras, ciuman kami yang semakin buas diiringi “mmhh… mmhh..” yang
semakin keras dan sering. Tiba-tiba otot-otot tubuh kami menegang, lalu
semakin menegang, semakin menegang, lalu…
“Bibiii saya keluaar… aahh…”
“Bibi juga sayang, bibi jugaa… nnggg…”
“Bibiii saya keluaar… aahh…”
“Bibi juga sayang, bibi jugaa… nnggg…”
{{Tubuh Nuke meregang, lalu ia menusukkan jemarinya dalam-dalam. Dan..
aaouuuhh… aku orgasme.. aku orgasmeee! Gila! Untuk kedua kalinya!
Terdengar suara pintu mobil dibuka. Nuke melompat, menutup telepon,
membawa kasur busa dan menghilang ke balik kamar tidurnya.}}
Malam itu, atas permintaannya aku menyetubuhi bibiku sekali lagi di atas
meja makan. Untuk membalas hutang tadi siang, begitu alasannya dengan
nada gurau. Sesudah itu kamipun tidur berpelukan dengan mesra di kamarku
sambil bertelanjang bulat. Sebelum tidur kami mengucapkan beberapa kata
cinta dan berciuman lamaa sekali.
0 komentar:
Posting Komentar